Pemikiran Kalam Muhammad Syahrur

A.    Pendahuluan
Suriah yang merupakan tempat Syahrur dilahirkan merupakan sebuah negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Namun kebebasan berekspresi dan berintektual di Suriah selangkah lebih maju dibandingkan dengan negara-negara Muslim Arab disekitarnya yang masih memberlakukan hukum Islam positif secara kaku. Hal itu disebabkan oleh faktor gelombang modernitas yang tengah terjadi di negeri itu pada waktu itu. Masalahnya adalah disebabkan oleh karena Suriah pernah diinvasi oleh Perancis dan juga dampak dari gerakan modernisasi Turki, dimana Suriah pernah menjadi wilayah dari Dinasti Usmaniyyah. Mungkin itulah sebabnya mengapa Syahrur dapat dengan leluasa menciptakan dan mengembangkan idenya di negeri ini.

B.     Pembahasan
1.      Biografi
Bernama lengkap Muhammad Syahrur Ibn Daib lahir pada tanggal 11 April 1938 di Damaskus, Suriah. Ia mengawali pendidikannya di sekolah Ibtidaiyah, Iddadiyah dan Tsanawiyah di Damaskus. Ia memperoleh ijazah tsanawiyahnya di Abdurrahman al-Kawakib (1957). Pada tahun 1958, ia memperoleh beasiswa Diploma dari pemerintahannya dan hijrah ke Uni Soviet untuk studi teknik sipil di Moskow dan menyelesaikannya tahun 1964. Kemudian ia kembali ke Suriah dan mengajar di Universitas Damaskus. Lalu oleh pihak Universitas ia dikirim ke Irlandia untuk studi Pascasarjana dalam spesialisasi mekanika tanah dan teknik pondasi pada Ireland National University dan memperoleh gelar Doktornya pada tahun 1972.  Pada tahun 1982-1983, ia dikirim kembali oleh pihak universitas untuk menjadi tenaga ahli pada al-sa’ud Consult, Arab Saudi.
Meskipun latar belakangnya yang seperti di atas, ternyata ia juga memiliki ketertarikan secara mendalam terhadap masalah-masalah keislaman. Oleh karena itulah ia belajar ilmu filsafat terutama filsafat bahasa dan humanisme secara otodidak. Hal ini dapat dilihat dalam karyanya “Al-Kitab wa Al-Qur’an” yang membuat namanya terkenal di dunia pemikiran Islam. Dalam menulis bukunya ini, ia juga memerlukan waktu bertahun-tahun sehingga menjadi suatu buku yang utuh. Walaupun begitu, di bidang spesialisasinya sendiri ia juga termasuk menonjol, khususnya di negaranya sendiri. Sebab pada tahun 1972, ia bersama rekan-rekannya membuka biro konsultasi teknik Dar al-Istisyarat al-Handasiyah di Damaskus. Hingga 2002, Syahrur masih tetap tercatat sebagai tenaga edukatif pada fakultas teknik sipil Universitas Damaskus dalam bidang mekanika tanah dan geologi.[1]  

2.      Pemikiran Kalam
a.      Konsep Nubuwwah dan Risalah
Pemikirannya dimulai pada pembedaan antara an-nubuwwah dan ar-risalah, Melalui konsep ini ia melakukan sistemisasi kitab suci dan hadits. Menurutnya, nubuwwah adalah kumpulan pengetahuan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, sedangkan risalah adalah kumpulan syari’ah yang datang kepada Nabi beriringan dengan diwahyukannya berbagai pengetahuan itu. Sehingga Muhammad bin Abdullah disebut Nabi, karena ia menerima pengetahuan dari Allah dan disebut Rasul, karena mendapat perintah untuk menyampaikan syari’ah. Kesimpulannya adalah nubuwwah berisi ilmu pengetahuan dan risalah memuat hukum-hukum.

b.      Al-Qur’an dan Al-Kitab
Dengan teori anti-sinonimitasnya, ia menegaskan bahwa al-Qur’an tidaklah mencakup keseluruhan al-Kitab, tetapi hanya mencakup dimensi an-nubuwwah. Adapun hukum Islam masuk dalam dimensi ar-risalah yang disebut ummul kitab. Baik al-Qur’an maupun ummul kitab semuanya tercakup dalam term al-Kitab. Ia juga membagi al-Kitab dalam dua bagian yaitu mutasyabihat; berisi penjelasan atas realitas objektif/pengetahuan dan muhkamat yang berisi tentang hudud, ibadah, al-furqan (10 perintah Tuhan) dan ta’limat (perintah dan larangan bagi nabi maupun manusia). Lebih jauh ia membuat suatu klasifikasi tersendiri yakni la muhkamat la mutasyabihat (“bukan muhkamat bukan mutasyabihat”); menjelaskan isi, karakter dan sistematika al-Qur’an.[2]
Adapun ayat-ayat yang termasuk ke dalam risalah adalah tentang hal-hal yang harus dilakukan oleh manusia seperti ibadah, muamalah, akhlak dan halal-haram. Dengan kata lain, yang berkaitan dengan aturan-aturan hidup manusia. Kelompok risalah ini merupakan ayat-ayat muhkamat yang berisi tentang hudud, ibadah, al-furqan (10 perintah Tuhan) dan ta’limat (perintah dan larangan bagi nabi maupun manusia). Ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan antar manusia dan dasar-dasar syari’ah, disebut juga dengan ummul kitab. [3]
Metode teori batas (hudud) Syahrur merupakan metode yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an yang digunakan untuk membaca ayat-ayat muhkamat dengan tujuan sakralitas teks tetap bisa terjadi (tidak melampaui batas-batas ketentuan Allah) sekaligus penafsir bisa sepenuhnya fleksibel dan dinamis dalam menggali penafsirannya. Metode ini mengenal istilah batas atas/maksimal dan batas bawah atau minimal. Adapun ketentuan-ketentuan hudud adalah mufassir tidak boleh melanggar batas atas dan batas bawah serta di antara kedua batas, mufassir boleh “berekspresi” sedemikian bebas untuk menghasilkan penafsiran yang relevan dengan realitas kehidupan umat Islam. Karena itulah, metode ini hanya dilakukan terhadap masalah-masalah hukum serta tak berlaku pada hal-hal ibadah, karena ijtihad yang demikian akan menjadi bid’ah belaka.[4] Hudud ini pula yang menjadi penghubung kebakaan lafadz al-Qur’an dengan kefanaan realitas yang dihadapi mukallaf.
Ayat-ayat hudud adalah dasar legislasi dan ayat-ayat ibadah menjadi dasar ketakwaan dan simpul kesalehan pribadi (habl min Allah). Sedangkan ayat-ayat yang berisi tentang wasiat, ajaran-ajaran yang diawali dengan ya ayuh an Nabi, dan ayat-ayat lokal temporal mendasari akhlak sosial (habl min an-nas). Bagi Syahrur, melalui perbedaan dan pemilahan inilah kita dapat memahami konsep legislasi Islam secara komprehensif. Ia menegaskan bahwa ayat-ayat hudud berupa dasar bagi proses legislasi, bukan hakekat dari hukum syari’ah itu sendiri. Ayat-ayat tersebut menjadi penegasan dari batas maksimal dari suatu hukum, sementara ayat itu sendiri dapat kita maknai juga sebagai ketentuan tentang garis batas minimalnya.
Menerapkan hukum tepat pada batas maksimalnya (a’la al-hudud) hanya dapat dilakukan hanya dapat dilakukan dalam kasus-kasus yang sangat ketat kriterianya. Tidak dapat kita lakukan hanya melalui pendekatan sembarangan dan qiyas yang tidak sama hakekat perbuatan hukum yang dilakukan saat ini dengan saat terjadinya di masa Nabi. Karena qiyas dengan kondisi yang berbeda, tentu saja, adalah qiyas yang tidak sah. Adapun terhadap kasus-kasus hukum lain yang tidak termasuk dalam ayat-ayat hudud atau batasan hukumnya belum ditentukan Allah, kita berkewajiban untuk menentukan sendiri batasan-batasan hukumnya. Batasan tersebut hanya berlaku untuk suatu masa yang disepakati saja.[5]

c.       Akal
Akal manusia sanggup mempersepsi dan mengetahui alam semesta tanpa ada batasan, karena ia bersifat material. Kemampuan akal manusia dalam berpikir bersifat kontinyu dan berkembang dari masa ke masa. Allah Swt. juga memuliakan akal sehingga; 1) tak mungkin ada pertentangan antara akal dan wahyu dan 2) tak ada pertentangan antara wahyu dan realitas, kalau ada pertentangan berarti Allah telah bertindak sia-sia dengan mengirimkan wahyu.

d.      Wahyu
Wahyu merupakan sumber pengetahuan ilahi yang diperoleh manusia. Wahyu berasal dari kata wahiya yang mengandung arti memberikan pengetahuan kepada seseorang secara rahasia. Wahyu juga berarti sebuah isyarat, sehingga segala sesuatu yang disampaikan kepada orang lain dengan cara apa pun serta bisa dipahami termasuk kategori wahyu. Dengan demikian, wahyu adalah penyampaian segenap pengetahuan kepada orang lain secara rahasia melalui cara-cara tertentu. Menurut Syahrur, proses penyampaian wahyu oleh Tuhan kepada penerimanya bisa melalui enam cara, yakni sebagai berikut:
1)      Wahyu disampaikan melalui program fisiologis (al-barmajah al-
‘udhwiyah) dan program fungsionalis (al-barmajah al-wazhîfiyah). Yang pertama khusus kepada makhluk hidup (Q.S. 16: 68). Adapun yang kedua, berkenaan dengan fenomena alam (Q.S. 99: 4-5).
2)      Wahyu yang diterima melalui personifikasi (tharîq al-tasykhîs) berupa suara dan rupa. Wahyu ini disebut juga al-wahy al-fuâdî, yang pernah dialami Nabi Ibrâhîm (Q.S. 11: 69) dan Nabi Luth (Q.S. 11: 77).
3)      Wahyu yang diterima melalui bentuk getaran atau bisikan hati nurani (thâriq tawârud al-khawâthir) atau semacam ilham yang diperoleh manusia ketika berada pada suatu kondisi yang rumit dalam berbagai bidang kehidupan seperti wahyu yang dialami oleh ibu Nabi Mûsa (Q.S. 28: 7) dan Isaac Newton dalam bidang penemuan teori sains. Bagi Syahrur model wahyu semacam ini masih terus berlangsung dan senantiasa menghampiri manusia tertentu.
4)      Wahyu yang diterima melalui mimpi (tharîq al-manâm), sebagaimana dialami oleh Nabi Ibrâhîm untuk menyembelih anaknya (Q.S. 37: 101). Dalam konteks ini, Syahrur membedakan dua istilah yang sama-sama berarti mimpi, yaitu al-hilm dan al-manâm. Al-hilm adalah mimpi yang kacau, semrawut, yang terdiri dari berbagai cerita yang tidak saling berkaitan. Sedang almanâm adalah mimpi yang memperlihatkan berbagai gambaran dan peristiwa yang memiliki makna dan berimplikasi pada emosi seseorang.
5)      Wahyu yang disampaikan secara abstrak (al-wahy al-mujarrad). Dalam cara ini Jibrîl datang tanpa bisa ditangkap oleh panca indera, langsung menghujamkan wahyu al-Qur’ân kepada hati Nabi Muhammad. Wahyu semacam ini adalah wahyu yang terberat diterima Nabi Muhammad, bahkan seringkali beliau tidak sadarkan diri ketika menerimanya. Sebagian riwayat menerangkan bahwa wahyu ini datang seperti deringan atau suara yang sangat keras.
6)      Wahyu dalam bentuk suara (al-wahy al-shawtî). Hal ini pernah dialami oleh Nabi Mûsa ketika menerima sepuluh perintah Tuhan di gunung Sinai (Q.S. 4:164).
Adapun berkenaan dengan proses turunnya wahyu, Syahrûr menjelaskannya dalam konsep al-inzâl dan al-tanzîl. Al-inzâl berarti merubah sesuatu yang tidak mungkin ditangkap oleh manusia (ghayr mudrakah) menjadi sesuatu yang dapat dicerna (mudrakah). Inzâl dalam konteks ini dipahami sebagai proses penampakkan al-kitâb ke lawh almahfûzh, yakni ketika sebelumnya ia tersimpan dalam ilmu Allah. Kata inzâl juga bisa berkonotasi wahyu yang diturunkan sekaligus. Sedangkan al- tanzîl berarti pemindahan atau perubahan atau penurunan ke dalam bentuk materi (ujaran) melalui Jibril sebagai perantara.[6]

e.       al-Tanzîl (al-Qurân) dan turâts
Sebelum ke pembahasan tentang konsep Islam dan Iman, Syahrûr dalam merumuskan gagasan tentang Islam dan iman, berangkat dari pemahaman dan pikiran dia tentang al-Tanzîl (al-Qurân) dengan turâts. Tanzîl adalah sesuatu yang normatif dan merupakan teks ilahiyah, sedangkan turâts adalah semua interpretasi atas teks ilahiyah tersebut. Sebagai sebuah interpretasi sebuah turâts berarti kebenarannya tidaklah absolut sebagaimana yang dimiliki al-Tanzîl itu sendiri.[7]

f.       Konsep Islam
Kaitannya dengan konsep Islam, Syahrur memulai dengan melakukan analisa terhadap tiga ayat, yakni (1) Q.S. 33: 35 yang memaparkan adanya komunitas al-muslimûn wa al-muslimât (laki-laki dan perempuan muslim) dan komunitas al-mu’minûn wa al-mu’minât (laki-laki dan perempuan mukmin); (2) Q.S. 66: 5 yang menyebutkan kata muslimât (perempuan muslim) yang disifati dengan kata mu’minât (perempuan mukmin); dan (3) Q.S. 49: 14 yang menjelaskan ungkapan penolakan terhadap pernyataan sekelompok badui yang mengatakan: “kami telah beriman”, tetapi mereka baru sebatas “berislam”, karena iman belum merasuk dalam diri mereka.
Dari sini kemudian Syahrur membangun rumusan baru Islam, bahwa rukun Islam itu mencakup tiga hal, yakni: (1) beriman kepada Allah; (2) beriman kepada hari akhir; dan (3) beramal saleh. Dua rukun pertama, iman kepada Allah dan iman kepada hari akhir, disebut sebagai sisi teoritis (jânib nazhari), sementara rukun yang terakhir, yaitu amal saleh bersifat logis praktis (jânib manthiqi ‘amali). Sehingga pelakunya sah disebut Muslim, baik ia berasal dari pengikut Muhammad (alladzîna âmanu), Mûsâ (alladzîna hâdû), atau dari para penolong Îsa (Nashârâ) atau dari millah lain selain ketiga millah ini. Karena itu iman teoritis tanpa tindakan nyata sebagai ekspresi dan manifestasinya, tidak bermakna apa-apa.
Anggapan bahwa shalat, puasa Ramadhan, zakat, dan haji sebagai hal yang final dalam rukun Islam, apabila dikembalikan pada Al-Qur’an, sebenarnya semua ritual itu dibebankan kepada orang Mukmin, bukan orang Muslim. Karenanya menurut Syahrur, Islam dimulai dari Nûh, dan berakhir pada Muhammad melalui Ibrâhîm, Ya’qûb, Îsa dan Mûsâ. Bahwa Islam adalah satu-satunya agama langit yang dikenal manusia dan dibawa oleh para rasul melalui risalah-risalah mereka yang berbeda. Muslim pada masa Nûh adalah mereka yang percaya pada Allah, hari akhir, dan beramal saleh. Mereka yang beriman setelah masa itu dengan mengikuti millah Ibrâhîm adalah hanîf. Orang yang percaya pada Mûsâ menjadi orang Yahudi, yang percaya pada Isa menjadi Nashrani, dan yang percaya pada Muhammad menjadi Mukmin.[8]

g.      Konsep Iman
Menyambung konsep Islam di atas, Oleh karenanya dalam Al-Qur’an, diarahkan untuk semua orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh untuk:
1)      Bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah dan yang diturunkan padanya, yaitu “Dan orang-orang yang beriman (kepada
Allah) dan mengerjakan amal saleh serta beriman pula pada apa yang
diturunkan kepada Muhammad...(Q.S. Muhammad: 2)
2)      Mendirikan sholat maktûbah, yaitu “...sesungguhnya sholat itu kewajiban
yang ditentukan waktunya atas orang-orang beriman” (Q.S. al-Nisâ: 103).
3)      Menunaikan zakat, yaitu “Sungguh beruntunglah orang-orang mukmin...,
dan orang-orang yang menunaikan zakat” (Q.S. al-Mu’minûn: 1, 4).
4)      Puasa pada bulan Ramadhan, yaitu “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kalian berpuasa“ (Q.S. al-Baqarah: 183).
5)      Berhaji ke Baitullah, yaitu “...mengerjakan Haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan
perjalanan...”(Q.S. Alî Imrân: 97).
6)      Syura atau demokrasi, yaitu “Dan bagi orang-orang yang menerima
seruan Tuhannya dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka diputuskan
dengan musyawarah...” (Q.S. al-Syûra: 38).
7)      Jihad, yaitu perang memperjuangkan kemerdekaan dan menghilangkan kezaliman dan tidak memaksakan agama, yaitu; diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (Q.S. al- Baqarah: 216).

Dengan paparan di atas, bisa disimpulkan bahwa bagi Syahrur Islam lebih umum dan dahulu dari iman. Islam adalah agama seluruh manusia di muka bumi, karenanya disebut “agama Islam” (din al-Islam) bukan agama iman (din al-Iman). Iman hanya dikhususkan bagi pengikut Muhammad, karenanya Al-Qur’an menyebut mereka mu’minûn.[9] 

h.      Al-Qur’an, Filsafat dan Sains
Menurut Syahrur, Al-Qur’an bukan tradisi dalam artian bahwa ia bukanlah hasil cipta, rasa atau kejeniusan seorang manusia melainkan diwahyukan oleh Allah Swt. oleh karena itu, ada beberapa karakteristik yang senantiasa melekat padanya, yaitu;
1)      Terdapat isi yang mutlak.
2)      Allah tak punya kepentingan untuk mengetahui atau memberi petunjuk diri-Nya, sehingga al-Qur’an merupakan petunjuk bagi manusia yang mengandung relativisme pemahaman manusia.
3)      Al-Qur’an harus disampaikan dalam bahasa manusia, sebab pemikiran manusia terkait dengan bahasa, walaupun pada fase berikutnya ternyata mengandung karakter kemutlakan Ilahi dan sekaligus pemahaman manusia yang relatif.
 Secara selintasan di atas, Syahrur nampaknya dikategorikan pada posisi tipologi transformatik, yakni menolak cara pandang agama dan kecenderungan mistis yang tak berdasarkan nalar praktis. Karena menurutnya, semua teks dan literatur agama adalah tidak lain daripada sebuah warisan yang mewakili pemahaman manusia mengenai wahyu Tuhan, kecuali Al-Qur’an. Maka warisan tradisional menurut Syahrur tak bisa dipercaya untuk bisa memberikan pemahaman yang tepat mengenai pesan Ketuhanan. Hal ini berarti, mengisyaratkan untuk kembali pada al-Qur’an dilihatnya sebagai sumber pengetahuan ilmiah dengan menggunakan penafsiran yang baru dan lebih hidup serta cocok dengan tuntutan zaman (tipologi reformistik dan ideal-totalistik).[10]
Untuk itulah, hal ini hanya dapat diketahui dengan menggunakan takwil, yakni usaha terus-menerus untuk mengharmoniskan sifat absolut al-Qur’an dengan pemahaman relatif pembacanya. Harmonisasi ini diperoleh dengan cara mendinamiskan kandungan teks seiring dengan perkembangan pemikiran manusia pada periode sejarah.[11]
Metode takwil ini merupakan metode yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan linguistik-saintifik. Metode ini digunakan untuk ayat-ayat mutasyabihat yakni yang memberikan informasi dan isyarat ilmu pengetahuan. Sehingga bisa membuktikan terjalinnya harmoni antara gagasan al-Qur’an yang bersifat absolut kebenarannya dengan nalar kritis pengetahuan manusia yang bersifat relatif kebenarannya. [12]
Sehingga antara filsafat dan sains tak ada perbedaan bahkan pertentangan dengan al-Kitab, karena telah menggunakan metode takwil dengan perantara akal.
 
i.        Sunnah
Syahrur menyatakan bahwa hadis adalah kehidupan Nabi Muhammad SAW sebagai seorang nabi (pembawa berita) dan manusia yang hidup dalam dunia nyata bukan di alam imajinasi. Jadi, hadis merupakan hasil interaksi beliau dengan kejadian-kejadian tertentu dalam situasi tertentu pula pada masa beliau hidup (produk sejarah). Dengan demikian, hadis bukanlah wahyu dari Allah SWT, sebab Nabi SAW dan para sahabat tidak menganggap hadis sebagai wahyu. Hal ini terbukti bahwa baik nabi maupun para sahabat tidak pernah memerintahkan untuk mengumpulkan dan menulis hadits. Oleh karena itu, ia tidak merestui istilah “al-wahyu al-tsânî “ (wahyu kedua) bagi hadis maupun Sunnah Nabi Muhammad SAW. Pendapat ini dibangun Syahrur atas penafsirannya terhadap firman Allah dalam Q.S. an-Najm/53: 3-4: “Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), (3) dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya (4)”. Menurut Syahrur bahwa maksud tunjukan dhamîr (kata ganti) “huwa” pada ayat ini tersebut adalah kepada al-Qur’an bukan kepada Nabi Muhammad SAW.dan tidak ada pula kaitannya dengan dhamîr pada kata kerja “yanthiqu
Adapun “sunnah” menurut Syahrur berarti “mudah”. Sebab, kata sunnah berasal dari kata “sanna” yang berarti mudah. Menurutnya, pengertian ini sesuai
dengan prinsip dasar ajaran Islam yaitu membawa kemudahan bagi umatnya, sebagaimana yang ditegaskan dalam firman Allah SWT. dalam Q.S. al-Baqarah/2:185 dan Q.S. alHajj/22:78. Hal ini juga dapat dibuktikan bahwa Rasulullah SAW senantiasa memilih yang mudah bagi umatnya dan meninggalkan yang sulit. Jadi, perbuatan dan pernyataan Rasulullah SAW pada masa lampau itu hanya merupakan penafsiran awal terhadap alQur’an untuk menjaga keutamaan ajaran Islam. Selanjutnya, umat Islam dituntut untuk mampu menafsirkan ajaran agama mereka agar bersifat mudah dan aplikatif dengan pendekatan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang mereka hadapi. Namun perlu diingat bahwa penafsiran tersebut tidak melampaui batasan-batasan yang telah ditetapkan Allah Swt. (hudûd Allah).

j.        Sistematika Sunnah
Sunnah juga terdiri dari nubuwwah dan risalah. Sunnah nubuwwah itu mengandung pengetahuan-pengetahuan, yakni sebagai penjelas dan pemahaman umum atas al-Qur’an.
Sunnah risalah adalah ijtihad nabi dalam menerapkan kitab risalah. Sunnah ini juga mengharuskan ketaatan yang berbentuk dua model yakni; Pertama, ketaatan mutlak adalah ketaatan yang berlangsung terus-menerus, kapanpun dan dimanapun baik ketika masih hidup atau setelah meninggal. Ketaatan ini hanya berlaku untuk masalah hudud, ibadah dan akhlak. Sunnah ini melengkapi penjelasan (al-bayân) terhadap kandungan al-Qur’an dan bukan membawa hukum baru.
Sedangkan Kedua, ketaatan sementara adalah ketaatan pada rasul pada saat ia masih hidup dan kewajiban taat itu berhenti setelah ia meninggal dunia, seperti putusan-putusan Rasul sebagai pemimpin negara, hakim, panglima perang, larangan melukis, menulis bermain musik dan menyanyi.[13] Sunnah tersebut ditaati secara kontekstual bukan tekstual yaitu dengan memperhatikan kandungannya dan disesuaikan dengan konteks kekinian. Sebab,  menurut Syahrur, posisi Nabi Muhammad SAW. hanyalah sebagai orang yang memberi penjelasan (mubayyin) bukan penetap hukum baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’an  (musyarri’). Sebab, menurutnya hanya Allah SWT yang berhak untuk menetapkan ajaran agama lewat al-Qur’an. Karena terjadinya pengharaman itu karena yang bermain melupakan kewajibannya dalam beribadah kepada Allah Swt.
Jadi, dalam memahami sunnah al-risâlah seperti ini umat Islam lebih dituntut untuk berijtihad dan memahami hadis-hadis Nabi SAW secara kontekstual bukan tekstual, selama hal itu tidak bertentangan dengan batasan-batasan yang telah ditetapkan Allah di dalam al-Qur’an.  Namun, hadis juga mestilah sejalan dengan pemahaman umum al-Qur’an.  Ketika ia bertentangan dengan informasi al-Qur’an maka sunnah tersebut ditolak (marfûdh) seperti hadis-hadis yang menjelaskan secara rinci tentang kerajaan Allah dan hari kiamat serta sesuatu yang akan terjadi pada masa akan datang. Hal ini didasarkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mengetahui perkara yang gaib, sebagaimana yang dijelaskan dalam firman-Nya: Katakanlah: “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang gaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku” (QS. al-An`âm/6: 50). Selain itu firman-Nya “… dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentutlah aku aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan…” (Q.S. al-A’râf/7: 188). Penjelasan suatu hadis yang sangat rinci mengenai sesuatu yang gaib yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an, mengindikasikan bahwa hadis itu palsu sehingga harus ditolak. Sesungguhnya hal-hal gaib yang terdapat dalam kitabullah sudah cukup dan orang yang mengingkarinya berarti telah keluar dari wilayah keimanan.[14]

k.      Konsep Hanif dan Istiqamah
Istiqamah dan hanif adalah dua sifat dari agama Islam yang membuat agama ini kuat. Sifat hanif adalah gerak dinamis dalam syari’ah yang terus-menerus berubah dan sanggup menghadapi perubahan, sementara istiqamah adalah pusat dari gerak dinamis itu yang menjadi pedoman dan kontrol atas segala perubahan yang mungkin terjadi dalam merespon zaman. Perubahan adalah gerak alamiah dari segala eksistensi yang memiliki kekuatan besar dan tak bisa dilawan.[15]

3.      Karya-karya
a.       Al-kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asyirah (1990)
Buku ini adalah buku pertama Syahrur yang terdiri dari 822 halaman dengan
empat bab pembahasan. Penyusunan buku ini banyak dipengaruhi oleh Prof. Dr. Ja’far Dekk al-Bab rekan sekaligus gurunya dalam bidang linguistik. Syahrur bertemu dengan Ja’far di kala keduanya sama-sama belajar di Universitas Moskow. Ja’far banyak memberikan masukan khususnya dalam perumusan metodologi dan memberikan kata pengantar dalam buku ini. Buku ini merupakan hasil kajiannya selama lebih kurang 20 tahun (1970-1990).
Setidaknya ada tiga tahapan dalam penyusunan buku tersebut. Tahap pertama
(1970-1980). Masa ini diawali ketika ia berada di Universitas Dublin. Masa ini merupakan masa pengkajian (muraja’ât) serta peletakan dasar awal metodologi pemahaman aldzikr, al-kitâb, al-risâlah, al-nubuwwah dan sejumlah kata kunci lainnya. Tahap kedua (1980-1986). Masa ini merupakan masa yang penting dalam pembentukan “kesadaran linguistik”nya dalam pembacaan kitab suci yang diawali dengan berjumpa teman se-almamaternya Ja’far Dekk al-Bâb- yang menekuni linguistik di Universitas Moskow. Melalui Ja’far itulah, Syahrur banyak diperkenalkan dengan pemikiran ulama tata bahasa Arab semisal al-Farrâ’, Abû Alî al-Fârisî, Ibn Jinnî, serta al-Jurjanî.  Setelah mendalami pemikiran tokoh-tokoh tersebut, Syahrur sampai kepada satu kesimpulan bahwa tidak ada sinonimitas (‘adam al-tarâduf) dalam bahasa Arab. Sejak tahun 1984, Syahrur mulai menulis pikiran-pikiran penting yang diambil dari ayat-ayat
yang tertuang dalam kitab suci. Melalui diskusi bersama Ja’far, Syahrur berhasil mengumpulkan hasil pikirannya yang masih terpisah-pisah.
Tahap ketiga (1986-1990). Syahrur mulai mengumpulkan hasil pemikirannya yang masih berserakan. Hingga tahun 1987, Syahrur telah berhasil merampungkan bagian pertama yang berisi gagasan-gagasan dasarnya. Segera setelah itu, bersama Ja’far, Syahrur berhasil menyusun “hukum dialektika umum” yang ia bahas di bagian kedua buku tersebut. Pada tahun 1992, cetakan pertama buku ini diterbitkan di Mesir. Menurut Peter Clark, bahwa buku Syahrur ini telah mengguncang dunia Arab dan sangat kontroversial, sehingga mengundang banyak kecaman. Namun, tidak dapat dinafikan bahwa buku ini mengusung gagasan-gagasan yang cerdas dan liberal mengenai konsep-konsep al-Qur’an, baik yang berkaitan dengan diskursur teologi, hukum, moral, maupun sosial kemasyarakatan. Buku ini sangat menantang, sebab ia mencoba untuk
melakukan eksprimentasi pemikiran dan metodologi baru terhadap kajian al-Qur’an yang sangat mendasar.
 
Buku tersebut untuk pertama kali diterbitkan di Mesir oleh percetakan al-Ahâli yang bermarkas di Damaskus. Buku ini sukses dan mendapat sambutan yang luar biasa bahkan dinilai sebagai salah satu buku terlaris (best seller) di Timur Tengah. Terbukti, buku ini telah terjual kurang lebih 20.000 eksemplar pada terbitan perdananya dan telah empat kali cetak ulang dalam kurun waktu satu setengah tahun. Bahkan, versi bajakan dan poto copy banyak beredar di Lebanon, Yordania, Mesir, termasuk di Indonesia. Terbitnya buku ini tentunya menimbulkan respon yang beragam, baik pro maupun kontra. Bagi kalangan yang kontra dan menolak, gagasan dekonstruktif M. Syahrur tersebut dinilai sebagai pendangkalan terhadap agama, sehingga menyebabkan dirinya dituduh sebagai “an enemy of Islam” dan “a western zionist agent” serta ingkar sunnah.
Gugatan terhadap bukunya, sempat mewarnai polemik di berbagai media, baik cetak maupun elektronik di Timur Tengah. Syaikh Sa’id Ramadhân al-Bûthy, misalnya, di sebuah jurnal Timur Tengah yang bernama Nahj al-Islâm menulis gugatannya dengan tajuk “al-Khilâfiyah al-Yahûdiyah li Syi’âri Qirâ’ah Mu’âshirah”. Lebih lanjut Dr. Syauqi Abû Khalil sembari mengulangi gugatan al-Bûthî menganggap karya Syahrur tersebut sebagai perpanjangan tangan zionis (tanfîzhan li washiyati al-shahyûniyah). Adapun kritikan dan bantahan dalam bentuk buku antara lain misalnya, Salîm al-Jâbî, yang menulis tesis yang bertajuk “al-Qirâ’ah al-Mu‘âshirah li al-Duktûr Syahrur: Mujarrad Tanjîm” (3 jilid terbit tahun 1991). Menurut Salîm bahwa karya Syahrur tersebut “hanyalah dugaan semata”  (mujarradu tanjîm) bukan karya hasil dari penelitian yang akurat dan komprehensif. Gugatan serupa dilancarkan oleh Muhammad Thâhir al-Syawwaf (ahli hukum dari Lebanon) dalam bukunya,Tahâfutu al- Qirâ’ah al- Mu‘âshirah (terbit tahun 1993). Menurutnya bahwa buku Syahrur tersebut telah “diracuni” idiom-idiom dan retorika Marxian. Terdapat juga kritik yang secara tajam menganalisa metode dan pendekatan linguistik Syahrur yaitu kitab “Munâqasyât al-Isykâliyah al-Manhajiyah fî al-Kitâb wal al-Qur’ân”  karya Muhammad Mâhir al-Munjid yang juga dimuat dalam majalah ‘Alâm al-Ma’rifah.  Selain itu kitab “Baidhot al-Dîkî; Naqd Lughawî li Kitâb “al-Kitâb wa al-Qur’ân” Yûsuf al-Shaidawî yang lebih banyak mengkritisi aspek linguistik yang diusung oleh Syahrur.
Sebaliknya, bagi kalangan yang setuju dengan pemikiran Syahrur, memberikan penilaian positif dan menganggap bahwa karyanya itu merupakan pembacaan baru yang memberikan pencerahan. Wael Hallaq menyatakan bahwa pandangan-pandangan Syahrur lebih meyakinkan daripada karya ulama lainnya. Sebab metodologi yang ditawarkannya lebih kuat dan logis. Oleh karena itu, metodologi ini semestinya diterapkan dalam sistem pemikiran Islam karena bersesuaian dengan konteks sosial. Selain itu, terdapat pula karya-karya yang mengaguminya dari para sarjana Barat atau Islamolog seperti Peter Clark dalam bukunya “Review Article: The Syahrur Phenomenon: A Liberal Islamic Voice from Syiria”, Charles Kurzman dalam bukunya “Liberal Islam: A Source Book” dan Dale F.  Eickelman dalam dua tulisannya “Islamic Liberalism Strikes Back” dan “Inside the Islamic Reformation”. Andreas Christmann dosen University of Manchester, Inggris, yang memuji usaha Syahrur yang gigih mendekonstruksi konsesus ulama (ijmâ’ ulamâ’) tradisional dalam bidang tafsir dalam tulisannya “The Form is Permanent, but The Content moves:  The Qur’anic Text an its Interpretations in Mohamad Shahrour’s al-Kitâb wa al-Qur’an”.

b.      Dirasah Islamiyyah Mu’asyirah fi al-Daulah wa al-Mujtama’ (1994)
Pada tahun 1994, percetakan al-Ahâli kembali menerbitkan karya kedua Syahrur. Buku ini terdiri dari 375 halaman yang dibagi dalam sembilan bab pembahasan. Dengan sangat tajam buku menguraikan tema-tema sosial politik yang terkait dengan persoalan warga negara (civil) maupun negara (state). Secara konsisten, Syahrur menguraikan tema-tema sentral seperti al-usrah, al-ummah, al-sya‘ab, al-dimuqrâthiyyah wa al-syûrâ, al-daulah, dan al-jihâd dengan senantiasa terikat pada rumusan teoritis yang telah ia gariskan di dalam buku pertamanya. Syahrur berkesimpulan bahwa urusan negara dan warganya tidak diatur dengan rinci di dalam al-Qur’an, oleh karena itu para sahabat berijtihad dalam menafsirkan firman Allah dengan melihat kepada praktik yang pernah dicontohkan Nabi SAW Oleh karena itu, menurut Syahrur sangat penting bagi umat Islam untuk senantiasa melakukan pembaharuan pemikiran untuk kemaslahatan umat Islam itu sendiri.

c.       Al-Islam wa al-Iman: Manzumah al-Qiyam (1996)
Selanjutnya pada tahun 1996, Syahrur menelurkan kembali karya terbarunya
dengan tajuk “al-Islâm wa al-Îmân: manzhûmah al-qiyam” dengan penerbit yang sama. Buku ini terdiri dari 401 halaman yang dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama menjelaskan sekitar pengertian Islam dan Iman serta rukun-rukunnya, sedangkan bagian kedua menjelaskan pengertian al-‘ibâd dan al-‘abîd dan perbedaan keduanya di dalam al-Qur’an serta diakhiri dengan pendapatnya secara lugas dan tegas tentang hubungan Islam dan politik. Buku ini mencoba mendekonstruksi konsep klasik mengenai pengertian dan pilar-pilar (arkân) Islam dan Iman. Tentunya, kajian-kajiannya diarahkan pada penelaahan terhadap ayat-ayat yang termaktub dalam kitab suci dengan senantiasa setia pada rumusan teoritis yang ia bangun.

d.      Nahw Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami: Fiqh al-Marh (2000)
Buku ini juga diterbitkan oleh percetakan al-Ahâlî di Damaskus. Buku ini terdiri 383 halaman yang dibagi dalam enam bab yang menjelaskan pemikirannya secara rinci seputar wasiat, warisan, kepemimpinan, poligami dan pakaian. Dalam bukunya ini Syahrur ingin menjelaskan metodologi dan pendekatan baru dalam memahami fiqih yaitu teori limit (hudûd Allah). Buku ini cenderung mendobrak pendapat ulama klasik yang masih mengakar dalam tradisi keilmuan umat Islam. Metodologi fiqih barunya ini muncul didasari atas kesadaran bahwa risalah Muhammad SAW merupakan risalah yang sesuai setiap masa dan tempat, tidak hanya risalah bagi masyarakat abad ke-7 Hijriah. Syahrur melihat bahwa perlu adanya pemahaman baru dalam ibadah, muamalah dan akhlak dan tidak lagi bertaklid secara buta terhadap mazhab fiqih yang ada seperti Hanafî, Mâlikî,  Syafi’î, dan Hanbalî. Kegelisahan inilah yang mendorong Muhammad Syahrur untuk mengkaji ulang al-Qur’an dan Sunnah dalam menggagas fiqih barunya.


e.       Tajfîf Manâbi‘ al-Tarhîb
Buku terakhir ini diterbitkan pada pertengahan tahun 2008. Buku ini terinspirasi dari tragedi 11 September (911) yang menggoncang Amerika Serikat ulah dari para teroris. Syahrur mencoba untuk memaparkan kekeliruan sebagian orang yang menjadikan agama sebagai alasan untuk berbuat kekerasan terhadap orang lain. Oleh karena itu,  Syahrur menjelaskan dalam bukunya ini makna daripada istilah jihad, qitâl (perang),  amar ma’rûf nahi mungkar, murtad, dan maqasid al-syari’ah. Di sisi lain buku ini juga hendak menguraikan bahwa kedatangan Islam adalah rahmat bagi semesta alam.

Di samping itu, Syahrur juga kerap menyumbangkan hasil pemikirannya
lewat artikel-artikel dalam seminar atau media publikasi, seperti
Reading The Religious Text-a New Approach”, “The Divine Text and Pluralism in Muslim Societies” dalam Muslim Politics Report (1997), dan “Islam and the 1995 Beijing World Conference on Woman”, dalam Kuwaiti Newspaper, yang kemudian dipublikasikan juga dalam Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam: A Sourcebook (New York & Oxford: Oxford University Press, 1998). Di samping sebagai penulis Syahrur juga aktif dalam seminar internasional mempresentasikan ide-ide mengenai al-Qur’an, sosial-politik, pluralisme dan hak-hak wanita, seperti dalam forum MESA conference tahun 1988 di Chicago.[16]

C.     Kesimpulan
Syahrur merupakan seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam yang sangat terkenal namanya di kalangan pemikir Islam kontemporer, disamping pula ia juga seorang saintis yang juga mempunyai pengaruh terutama di negaranya Suriah. Ia belajar ilmu filsafat terutama filsafat bahasa dan humanisme secara otodidak. Hal ini dapat dilihat dalam karyanya “Al-Kitab wa Al-Qur’an” yang fenomenal penulisannya juga berlangsung selama 20 tahun lamanya. Menurutnya, Peradaban Islam mengalami stagnasi dan tidak mampu memecahkan problem fundamental pemikiran ke-Islaman, karena masih dipenuhi berbagai taqlid tentang konsep qadha` dan qadar, faham jabariah, problematika pengetahuan, konsep negara, problem sosial ekonomi, demokrasi dan penafsiran atas sejarah. Oleh karena itulah, Niat yang kuat untuk keluar dari krisis pemikiran dan sakit mental yang traumatik terhadap dunia luar adalah dengan lebih berorientasi kepada usaha menemukan metode-metode ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dalam menafsirkan al-Qur`an dan Sunnah. Persoalan subyektif dan obyektif, metode dan pendekatan, hubungan teks dan konteks, pembicara dan yang diajak bicara adalah tema-tema penting dalam studi terhadap teks apalagi teks yang dinilai suci dan berasal bukan dari karangan manusia tetapi dari Tuhan.[17]


Daftar Pustaka
Abidin, Zainal, t.th, Rethinking Islam dan Iman; Studi Pemikiran Muhammad Syahrur, (Banjarmasin: IAIN Antasari Press).
AH Iyubenu, Edi, 2015, Berhala-Berhala Wacana, (Jogjakarta: IRCiSoD).
Ardiansyah, 2009, Konsep Sunnah Dalam Perspektif Muhammad Syahrur: Suatu Pembacaan Baru Dalam Kritik Hadis, Jurnal MIQOT Vol. XXXIII No. 1: IAIN SU Medan.
Aseri dkk, Akh Fauzi, 2014, Kesinambungan dan Perubahan dalam Pemikiran Tentang Asbabun Nuzul Kontemporer, Jurnal Tashwir vol 2 no 3: IAIN Banjarmasin.
Asriaty, 2014, Menyoal persoalan Hukum Islam Muhammad Syahrur, Jurnal Hukum Islam Vol. 13 No.2 : PTIQ Jakarta.
digilib.uinsby.ac.id.
Ibrahim, Duski, 2014, Metodologi Penelitian dalam Kajian Islam, Jurnal Intizar vol 20 no 2: UIN Palembang.
Mujahidin, Anwar, 2012, Subyektivitas Dan Obyektivitas dalam Studi Al-Qur`an, Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam Vol 6 No 2: STAIN Ponorogo.
Sahrodi, Jamali dkk, 2010, Antologi Tokoh; Menelusuri Jejak Pemikiran Tokoh-Tokoh Islam, (Jogjakarta: Pilar Religia).




[1] digilib.uinsby.ac.id diunduh tanggal 23 september 2016.
[2] Asriaty, 2014, Menyoal persoalan Hukum Islam Muhammad Syahrur, Jurnal Hukum Islam Vol. 13 No.2 : PTIQ Jakarta, hal 5.
[3] Jumali Sahrodi dkk, 2010., Ibid hal 252-254.
[4] Edi AH Iyubenu, 2015., Ibid hal 33-34
[5] Duski Ibrahim, 2014, Metodologi Penelitian dalam Kajian Islam, Jurnal Intizar vol 20 no 2: UIN Palembang, hal 254.
[6] Zainal Abidin, t.th, Rethinking Islam dan Iman; Studi Pemikiran Muhammad Syahrur, (Banjarmasin: IAIN Antasari Press), hal 26-29
[7] Zainal Abidin, t.th, Ibid., hal 80.
[8] Zainal Abidin, t.th, ibid hal 48-52.
[9] Zainal Abidin, t.th, ibid hal 76-78.
[10] Akh Fauzi Aseri dkk, 2014, Kesinambungan dan Perubahan dalam Pemikiran Tentang Asbabun Nuzul Kontemporer, Jurnal Tashwir vol 2 no 3: IAIN Banjarmasin, hal 6-7.
[11] Jumali Sahrodi dkk, 2010, Antologi Tokoh; Menelusuri Jejak Pemikiran Tokoh-Tokoh Islam, (Jogjakarta: Pilar Religia), hal 249-251.
[12] Edi AH Iyubenu, 2015, Berhala-Berhala Wacana, (Jogjakarta: IRCiSoD), hal 32-33.
[13] Jumali Sahrodi dkk, 2010., Ibid hal 252-260.
[14] Ardiansyah, 2009, Konsep Sunnah Dalam Perspektif Muhammad Syahrur: Suatu Pembacaan Baru Dalam Kritik Hadis, Jurnal MIQOT Vol. XXXIII No. 1: IAIN SU Medan, hal 10-13.
[15]. Jumali Sahrodi dkk, 2010., Loc. cit.
[16] Ardiansyah, 2009,  Op. cit, hal 4-9.
[17] Anwar Mujahidin, 2012, Subyektivitas Dan Obyektivitas dalam Studi Al-Qur`an, Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam Vol 6 No 2: STAIN Ponorogo, hal 7-8.

Comments