A.
Pendahuluan
Suriah yang merupakan tempat Syahrur dilahirkan
merupakan sebuah negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Namun kebebasan
berekspresi dan berintektual di Suriah selangkah lebih maju dibandingkan dengan
negara-negara Muslim Arab disekitarnya yang masih memberlakukan hukum Islam
positif secara kaku. Hal itu disebabkan oleh faktor gelombang modernitas yang
tengah terjadi di negeri itu pada waktu itu. Masalahnya adalah disebabkan oleh
karena Suriah pernah diinvasi oleh Perancis dan juga dampak dari gerakan modernisasi
Turki, dimana Suriah pernah menjadi wilayah dari Dinasti Usmaniyyah. Mungkin
itulah sebabnya mengapa Syahrur dapat dengan leluasa menciptakan dan
mengembangkan idenya di negeri ini.
B.
Pembahasan
1.
Biografi
Bernama lengkap Muhammad Syahrur Ibn Daib lahir pada
tanggal 11 April 1938 di Damaskus, Suriah. Ia mengawali pendidikannya di
sekolah Ibtidaiyah, Iddadiyah dan Tsanawiyah di Damaskus. Ia memperoleh ijazah
tsanawiyahnya di Abdurrahman al-Kawakib (1957). Pada tahun 1958, ia memperoleh
beasiswa Diploma dari pemerintahannya dan hijrah ke Uni Soviet untuk studi
teknik sipil di Moskow dan menyelesaikannya tahun 1964. Kemudian ia kembali ke
Suriah dan mengajar di Universitas Damaskus. Lalu oleh pihak Universitas ia
dikirim ke Irlandia untuk studi Pascasarjana dalam spesialisasi mekanika tanah
dan teknik pondasi pada Ireland National University dan memperoleh gelar
Doktornya pada tahun 1972. Pada tahun
1982-1983, ia dikirim kembali oleh pihak universitas untuk menjadi tenaga ahli
pada al-sa’ud Consult, Arab Saudi.
Meskipun latar belakangnya yang seperti di atas,
ternyata ia juga memiliki ketertarikan secara mendalam terhadap masalah-masalah
keislaman. Oleh karena itulah ia belajar ilmu filsafat terutama filsafat bahasa
dan humanisme secara otodidak. Hal ini dapat dilihat dalam karyanya “Al-Kitab wa Al-Qur’an” yang membuat
namanya terkenal di dunia pemikiran Islam. Dalam menulis bukunya ini, ia juga
memerlukan waktu bertahun-tahun sehingga menjadi suatu buku yang utuh. Walaupun
begitu, di bidang spesialisasinya sendiri ia juga termasuk menonjol, khususnya
di negaranya sendiri. Sebab pada tahun 1972, ia bersama rekan-rekannya membuka
biro konsultasi teknik Dar al-Istisyarat
al-Handasiyah di Damaskus. Hingga 2002, Syahrur masih tetap tercatat
sebagai tenaga edukatif pada fakultas teknik sipil Universitas Damaskus dalam
bidang mekanika tanah dan geologi.[1]
2.
Pemikiran
Kalam
a.
Konsep
Nubuwwah dan Risalah
Pemikirannya dimulai pada pembedaan antara an-nubuwwah dan ar-risalah, Melalui konsep ini ia melakukan sistemisasi kitab suci
dan hadits. Menurutnya, nubuwwah
adalah kumpulan pengetahuan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, sedangkan
risalah adalah kumpulan syari’ah yang datang kepada Nabi beriringan dengan
diwahyukannya berbagai pengetahuan itu. Sehingga Muhammad bin Abdullah disebut
Nabi, karena ia menerima pengetahuan dari Allah dan disebut Rasul, karena
mendapat perintah untuk menyampaikan syari’ah. Kesimpulannya adalah nubuwwah berisi ilmu pengetahuan dan risalah
memuat hukum-hukum.
b.
Al-Qur’an dan Al-Kitab
Dengan teori
anti-sinonimitasnya, ia menegaskan bahwa al-Qur’an
tidaklah mencakup keseluruhan al-Kitab, tetapi hanya mencakup dimensi an-nubuwwah. Adapun hukum Islam masuk
dalam dimensi ar-risalah yang disebut
ummul kitab. Baik al-Qur’an maupun ummul kitab semuanya tercakup dalam term
al-Kitab. Ia juga membagi al-Kitab dalam dua bagian yaitu mutasyabihat; berisi penjelasan atas
realitas objektif/pengetahuan dan muhkamat yang berisi tentang hudud, ibadah, al-furqan (10 perintah Tuhan) dan ta’limat (perintah dan larangan bagi nabi maupun manusia). Lebih
jauh ia membuat suatu klasifikasi tersendiri yakni la muhkamat la mutasyabihat (“bukan muhkamat bukan mutasyabihat”);
menjelaskan isi, karakter dan sistematika al-Qur’an.[2]
Adapun ayat-ayat
yang termasuk ke dalam risalah adalah tentang hal-hal yang harus dilakukan oleh
manusia seperti ibadah, muamalah, akhlak dan halal-haram. Dengan kata lain,
yang berkaitan dengan aturan-aturan hidup manusia. Kelompok risalah ini
merupakan ayat-ayat muhkamat yang berisi tentang hudud, ibadah, al-furqan
(10 perintah Tuhan) dan ta’limat (perintah
dan larangan bagi nabi maupun manusia). Ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan antar manusia dan dasar-dasar
syari’ah, disebut juga dengan ummul kitab. [3]
Metode teori
batas (hudud) Syahrur merupakan
metode yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an yang digunakan untuk membaca
ayat-ayat muhkamat dengan tujuan sakralitas teks tetap bisa terjadi (tidak melampaui
batas-batas ketentuan Allah) sekaligus penafsir bisa sepenuhnya fleksibel dan
dinamis dalam menggali penafsirannya. Metode ini mengenal istilah batas
atas/maksimal dan batas bawah atau minimal. Adapun ketentuan-ketentuan hudud adalah mufassir tidak boleh
melanggar batas atas dan batas bawah serta di antara kedua batas, mufassir
boleh “berekspresi” sedemikian bebas untuk menghasilkan penafsiran yang relevan
dengan realitas kehidupan umat Islam. Karena itulah, metode ini hanya dilakukan
terhadap masalah-masalah hukum serta tak berlaku pada hal-hal ibadah, karena
ijtihad yang demikian akan menjadi bid’ah
belaka.[4] Hudud ini pula yang menjadi penghubung
kebakaan lafadz al-Qur’an dengan kefanaan realitas yang dihadapi mukallaf.
Ayat-ayat hudud
adalah dasar legislasi dan ayat-ayat ibadah menjadi dasar ketakwaan dan
simpul kesalehan pribadi (habl min Allah). Sedangkan ayat-ayat yang
berisi tentang wasiat, ajaran-ajaran yang diawali dengan ya ayuh an Nabi, dan
ayat-ayat lokal temporal mendasari akhlak sosial (habl min an-nas). Bagi
Syahrur, melalui perbedaan dan pemilahan inilah kita dapat memahami konsep
legislasi Islam secara komprehensif. Ia menegaskan bahwa ayat-ayat hudud berupa
dasar bagi proses legislasi, bukan hakekat dari hukum syari’ah itu sendiri. Ayat-ayat tersebut menjadi penegasan dari
batas maksimal dari suatu hukum, sementara ayat itu sendiri dapat kita maknai
juga sebagai ketentuan tentang garis batas minimalnya.
Menerapkan
hukum tepat pada batas maksimalnya (a’la al-hudud) hanya dapat dilakukan
hanya dapat dilakukan dalam kasus-kasus yang sangat ketat kriterianya. Tidak
dapat kita lakukan hanya melalui pendekatan sembarangan dan qiyas yang
tidak sama hakekat perbuatan hukum yang dilakukan saat ini dengan saat
terjadinya di masa Nabi. Karena qiyas dengan kondisi yang berbeda, tentu
saja, adalah qiyas yang tidak sah. Adapun terhadap kasus-kasus hukum
lain yang tidak termasuk dalam ayat-ayat hudud atau batasan hukumnya
belum ditentukan Allah, kita berkewajiban untuk menentukan sendiri batasan-batasan
hukumnya. Batasan tersebut hanya berlaku untuk suatu masa yang disepakati saja.[5]
c.
Akal
Akal manusia
sanggup mempersepsi dan mengetahui alam semesta tanpa ada batasan, karena ia
bersifat material. Kemampuan akal manusia dalam berpikir bersifat kontinyu dan
berkembang dari masa ke masa. Allah Swt. juga memuliakan akal sehingga; 1) tak
mungkin ada pertentangan antara akal dan wahyu dan 2) tak ada pertentangan
antara wahyu dan realitas, kalau ada pertentangan berarti Allah telah bertindak
sia-sia dengan mengirimkan wahyu.
d.
Wahyu
Wahyu
merupakan sumber pengetahuan ilahi yang diperoleh manusia. Wahyu berasal dari
kata wahiya yang mengandung arti memberikan pengetahuan kepada seseorang
secara rahasia. Wahyu juga berarti sebuah isyarat, sehingga segala sesuatu yang
disampaikan kepada orang lain dengan cara apa pun serta bisa dipahami termasuk
kategori wahyu. Dengan demikian, wahyu adalah penyampaian segenap pengetahuan
kepada orang lain secara rahasia melalui cara-cara tertentu. Menurut Syahrur,
proses penyampaian wahyu oleh Tuhan kepada penerimanya bisa melalui enam cara,
yakni sebagai berikut:
1)
Wahyu disampaikan melalui
program fisiologis (al-barmajah al-
‘udhwiyah) dan program fungsionalis (al-barmajah al-wazhîfiyah). Yang pertama khusus kepada makhluk hidup (Q.S. 16: 68). Adapun yang kedua, berkenaan dengan fenomena alam (Q.S. 99: 4-5).
‘udhwiyah) dan program fungsionalis (al-barmajah al-wazhîfiyah). Yang pertama khusus kepada makhluk hidup (Q.S. 16: 68). Adapun yang kedua, berkenaan dengan fenomena alam (Q.S. 99: 4-5).
2)
Wahyu yang diterima melalui
personifikasi (tharîq al-tasykhîs) berupa suara dan rupa. Wahyu ini
disebut juga al-wahy al-fuâdî, yang pernah dialami Nabi Ibrâhîm (Q.S.
11: 69) dan Nabi Luth (Q.S. 11: 77).
3)
Wahyu yang diterima melalui
bentuk getaran atau bisikan hati nurani (thâriq tawârud al-khawâthir)
atau semacam ilham yang diperoleh manusia ketika berada pada suatu kondisi yang
rumit dalam berbagai bidang kehidupan seperti wahyu yang dialami oleh ibu Nabi
Mûsa (Q.S. 28: 7) dan Isaac Newton dalam bidang penemuan teori sains. Bagi Syahrur
model wahyu semacam ini masih terus berlangsung dan senantiasa menghampiri
manusia tertentu.
4)
Wahyu yang diterima melalui
mimpi (tharîq al-manâm), sebagaimana dialami oleh Nabi Ibrâhîm untuk
menyembelih anaknya (Q.S. 37: 101). Dalam konteks ini, Syahrur membedakan dua
istilah yang sama-sama berarti mimpi, yaitu al-hilm dan al-manâm.
Al-hilm adalah mimpi yang kacau, semrawut, yang terdiri dari berbagai
cerita yang tidak saling berkaitan. Sedang almanâm adalah mimpi yang
memperlihatkan berbagai gambaran dan peristiwa yang memiliki makna dan
berimplikasi pada emosi seseorang.
5)
Wahyu yang disampaikan
secara abstrak (al-wahy al-mujarrad). Dalam cara ini Jibrîl datang tanpa
bisa ditangkap oleh panca indera, langsung menghujamkan wahyu al-Qur’ân kepada
hati Nabi Muhammad. Wahyu semacam ini adalah wahyu yang terberat diterima Nabi
Muhammad, bahkan seringkali beliau tidak sadarkan diri ketika menerimanya.
Sebagian riwayat menerangkan bahwa wahyu ini datang seperti deringan atau suara
yang sangat keras.
6)
Wahyu dalam bentuk suara (al-wahy
al-shawtî). Hal ini pernah dialami oleh Nabi Mûsa ketika menerima sepuluh
perintah Tuhan di gunung Sinai (Q.S. 4:164).
Adapun berkenaan dengan proses turunnya wahyu, Syahrûr
menjelaskannya dalam konsep al-inzâl dan al-tanzîl. Al-inzâl berarti
merubah sesuatu yang tidak mungkin ditangkap oleh manusia (ghayr mudrakah)
menjadi sesuatu yang dapat dicerna (mudrakah). Inzâl dalam
konteks ini dipahami sebagai proses penampakkan al-kitâb ke lawh almahfûzh,
yakni ketika sebelumnya ia tersimpan dalam ilmu Allah. Kata inzâl juga
bisa berkonotasi wahyu yang diturunkan sekaligus. Sedangkan al- tanzîl berarti
pemindahan atau perubahan atau penurunan ke dalam bentuk materi (ujaran)
melalui Jibril sebagai perantara.[6]
e.
al-Tanzîl (al-Qur‟ân) dan turâts
Sebelum ke pembahasan tentang konsep Islam dan Iman, Syahrûr dalam merumuskan
gagasan tentang Islam dan iman, berangkat dari pemahaman dan pikiran dia
tentang al-Tanzîl (al-Qur‟ân) dengan turâts. Tanzîl adalah sesuatu yang
normatif dan merupakan teks ilahiyah, sedangkan turâts adalah semua
interpretasi atas teks ilahiyah tersebut. Sebagai sebuah interpretasi sebuah turâts
berarti kebenarannya tidaklah absolut sebagaimana yang dimiliki al-Tanzîl
itu sendiri.[7]
f.
Konsep Islam
Kaitannya
dengan konsep Islam, Syahrur memulai dengan melakukan analisa terhadap tiga
ayat, yakni (1) Q.S. 33: 35 yang memaparkan adanya komunitas al-muslimûn wa
al-muslimât (laki-laki dan perempuan muslim) dan komunitas al-mu’minûn
wa al-mu’minât (laki-laki dan perempuan mukmin); (2) Q.S. 66: 5 yang
menyebutkan kata muslimât (perempuan muslim) yang disifati dengan kata mu’minât
(perempuan mukmin); dan (3) Q.S. 49: 14 yang menjelaskan ungkapan penolakan
terhadap pernyataan sekelompok badui yang mengatakan: “kami telah beriman”,
tetapi mereka baru sebatas “berislam”, karena iman belum merasuk dalam diri
mereka.
Dari
sini kemudian Syahrur membangun rumusan baru Islam, bahwa rukun Islam itu
mencakup tiga hal, yakni: (1) beriman kepada Allah; (2) beriman kepada hari
akhir; dan (3) beramal saleh. Dua rukun pertama, iman kepada Allah dan iman
kepada hari akhir, disebut sebagai sisi teoritis (jânib nazhari),
sementara rukun yang terakhir, yaitu amal saleh bersifat logis praktis (jânib
manthiqi ‘amali). Sehingga pelakunya sah disebut Muslim, baik ia berasal
dari pengikut Muhammad (alladzîna âmanu), Mûsâ (alladzîna hâdû),
atau dari para penolong Îsa (Nashârâ) atau dari millah lain
selain ketiga millah ini. Karena itu iman teoritis tanpa tindakan nyata
sebagai ekspresi dan manifestasinya, tidak bermakna apa-apa.
Anggapan
bahwa shalat, puasa Ramadhan, zakat, dan haji sebagai hal yang final dalam
rukun Islam, apabila dikembalikan pada Al-Qur’an, sebenarnya semua
ritual itu dibebankan kepada orang Mukmin, bukan orang Muslim. Karenanya menurut
Syahrur, Islam dimulai dari Nûh, dan berakhir pada Muhammad melalui Ibrâhîm,
Ya’qûb, Îsa dan Mûsâ. Bahwa Islam adalah satu-satunya agama langit yang dikenal
manusia dan dibawa oleh para rasul melalui risalah-risalah mereka yang berbeda.
Muslim pada masa Nûh adalah mereka yang percaya pada Allah, hari akhir, dan
beramal saleh. Mereka yang beriman setelah masa itu dengan mengikuti millah Ibrâhîm
adalah hanîf. Orang yang percaya pada Mûsâ menjadi orang Yahudi, yang
percaya pada Isa menjadi Nashrani, dan yang percaya pada Muhammad menjadi
Mukmin.[8]
g.
Konsep Iman
Menyambung
konsep Islam di atas, Oleh karenanya dalam Al-Qur’an, diarahkan untuk semua orang yang beriman kepada
Allah, hari akhir, dan beramal saleh untuk:
1)
Bersaksi bahwa Muhammad
adalah utusan Allah dan yang diturunkan padanya, yaitu “Dan orang-orang yang
beriman (kepada
Allah) dan mengerjakan amal saleh serta beriman pula pada apa yang
diturunkan kepada Muhammad...(Q.S. Muhammad: 2)
Allah) dan mengerjakan amal saleh serta beriman pula pada apa yang
diturunkan kepada Muhammad...(Q.S. Muhammad: 2)
2)
Mendirikan sholat maktûbah,
yaitu “...sesungguhnya sholat itu kewajiban
yang ditentukan waktunya atas orang-orang beriman” (Q.S. al-Nisâ: 103).
yang ditentukan waktunya atas orang-orang beriman” (Q.S. al-Nisâ: 103).
3)
Menunaikan zakat, yaitu “Sungguh
beruntunglah orang-orang mukmin...,
dan orang-orang yang menunaikan zakat” (Q.S. al-Mu’minûn: 1, 4).
dan orang-orang yang menunaikan zakat” (Q.S. al-Mu’minûn: 1, 4).
4)
Puasa pada bulan Ramadhan,
yaitu “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kalian berpuasa“ (Q.S. al-Baqarah: 183).
diwajibkan atas kalian berpuasa“ (Q.S. al-Baqarah: 183).
5)
Berhaji ke Baitullah, yaitu
“...mengerjakan Haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan
perjalanan...”(Q.S. Alî Imrân: 97).
manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan
perjalanan...”(Q.S. Alî Imrân: 97).
6)
Syura atau demokrasi, yaitu
“Dan bagi orang-orang yang menerima
seruan Tuhannya dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka diputuskan
dengan musyawarah...” (Q.S. al-Syûra: 38).
seruan Tuhannya dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka diputuskan
dengan musyawarah...” (Q.S. al-Syûra: 38).
7)
Jihad, yaitu perang
memperjuangkan kemerdekaan dan menghilangkan kezaliman dan tidak memaksakan
agama, yaitu; diwajibkan atas kamu
berperang, Padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi
kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui (Q.S. al- Baqarah: 216).
Dengan paparan di atas, bisa disimpulkan bahwa bagi Syahrur Islam
lebih umum dan dahulu dari iman. Islam adalah agama seluruh manusia di muka
bumi, karenanya disebut “agama Islam” (din al-Islam) bukan agama iman (din
al-Iman). Iman hanya dikhususkan bagi pengikut Muhammad, karenanya Al-Qur’an menyebut mereka mu’minûn.[9]
h.
Al-Qur’an,
Filsafat dan Sains
Menurut Syahrur, Al-Qur’an
bukan tradisi dalam artian bahwa ia bukanlah hasil cipta, rasa atau kejeniusan
seorang manusia melainkan diwahyukan oleh Allah Swt. oleh karena itu, ada
beberapa karakteristik yang senantiasa melekat padanya, yaitu;
1) Terdapat isi yang mutlak.
2) Allah tak punya kepentingan untuk mengetahui atau memberi petunjuk
diri-Nya, sehingga al-Qur’an merupakan petunjuk bagi manusia yang
mengandung relativisme pemahaman manusia.
3) Al-Qur’an
harus disampaikan dalam bahasa manusia, sebab pemikiran manusia terkait dengan
bahasa, walaupun pada fase berikutnya ternyata mengandung karakter kemutlakan
Ilahi dan sekaligus pemahaman manusia yang relatif.
Secara selintasan di atas, Syahrur
nampaknya dikategorikan pada posisi tipologi transformatik,
yakni menolak cara pandang agama dan kecenderungan mistis yang tak berdasarkan
nalar praktis. Karena menurutnya, semua teks dan literatur agama adalah tidak
lain daripada sebuah warisan yang mewakili pemahaman manusia mengenai wahyu
Tuhan, kecuali Al-Qur’an. Maka warisan tradisional menurut Syahrur tak bisa
dipercaya untuk bisa memberikan pemahaman yang tepat mengenai pesan Ketuhanan.
Hal ini berarti, mengisyaratkan untuk kembali pada al-Qur’an dilihatnya sebagai
sumber pengetahuan ilmiah dengan menggunakan penafsiran yang baru dan lebih
hidup serta cocok dengan tuntutan zaman (tipologi reformistik dan
ideal-totalistik).[10]
Untuk
itulah, hal ini hanya dapat diketahui dengan menggunakan takwil, yakni usaha
terus-menerus untuk mengharmoniskan sifat absolut al-Qur’an dengan pemahaman
relatif pembacanya. Harmonisasi ini diperoleh dengan cara mendinamiskan
kandungan teks seiring dengan perkembangan pemikiran manusia pada periode
sejarah.[11]
Metode takwil ini merupakan metode yang digunakan
dalam menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan linguistik-saintifik.
Metode ini digunakan untuk ayat-ayat mutasyabihat yakni yang memberikan
informasi dan isyarat ilmu pengetahuan. Sehingga bisa membuktikan terjalinnya harmoni
antara gagasan al-Qur’an yang bersifat absolut kebenarannya dengan nalar kritis
pengetahuan manusia yang bersifat relatif kebenarannya. [12]
Sehingga antara
filsafat dan sains tak ada perbedaan bahkan pertentangan dengan al-Kitab,
karena telah menggunakan metode takwil dengan perantara akal.
i.
Sunnah
Syahrur menyatakan
bahwa hadis adalah kehidupan Nabi Muhammad SAW sebagai seorang nabi (pembawa
berita) dan manusia yang hidup dalam dunia nyata bukan di alam imajinasi. Jadi,
hadis merupakan hasil interaksi beliau dengan kejadian-kejadian tertentu dalam
situasi tertentu pula pada masa beliau hidup (produk sejarah). Dengan demikian,
hadis bukanlah wahyu dari Allah SWT, sebab Nabi SAW dan para sahabat tidak
menganggap hadis sebagai wahyu. Hal ini terbukti bahwa baik nabi maupun para
sahabat tidak pernah memerintahkan untuk mengumpulkan dan menulis hadits. Oleh
karena itu, ia tidak merestui istilah “al-wahyu
al-tsânî “ (wahyu kedua) bagi hadis maupun Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Pendapat ini dibangun Syahrur atas penafsirannya terhadap firman Allah dalam
Q.S. an-Najm/53: 3-4: “Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), (3) dan tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya (4)”. Menurut Syahrur bahwa maksud
tunjukan dhamîr (kata ganti) “huwa”
pada ayat ini tersebut adalah kepada al-Qur’an bukan kepada Nabi Muhammad
SAW.dan tidak ada pula kaitannya dengan dhamîr pada kata kerja “yanthiqu”
Adapun “sunnah” menurut
Syahrur berarti “mudah”. Sebab, kata sunnah berasal dari kata “sanna” yang berarti mudah. Menurutnya,
pengertian ini sesuai
dengan prinsip dasar ajaran Islam yaitu membawa kemudahan bagi umatnya, sebagaimana yang ditegaskan dalam firman Allah SWT. dalam Q.S. al-Baqarah/2:185 dan Q.S. alHajj/22:78. Hal ini juga dapat dibuktikan bahwa Rasulullah SAW senantiasa memilih yang mudah bagi umatnya dan meninggalkan yang sulit. Jadi, perbuatan dan pernyataan Rasulullah SAW pada masa lampau itu hanya merupakan penafsiran awal terhadap alQur’an untuk menjaga keutamaan ajaran Islam. Selanjutnya, umat Islam dituntut untuk mampu menafsirkan ajaran agama mereka agar bersifat mudah dan aplikatif dengan pendekatan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang mereka hadapi. Namun perlu diingat bahwa penafsiran tersebut tidak melampaui batasan-batasan yang telah ditetapkan Allah Swt. (hudûd Allah).
dengan prinsip dasar ajaran Islam yaitu membawa kemudahan bagi umatnya, sebagaimana yang ditegaskan dalam firman Allah SWT. dalam Q.S. al-Baqarah/2:185 dan Q.S. alHajj/22:78. Hal ini juga dapat dibuktikan bahwa Rasulullah SAW senantiasa memilih yang mudah bagi umatnya dan meninggalkan yang sulit. Jadi, perbuatan dan pernyataan Rasulullah SAW pada masa lampau itu hanya merupakan penafsiran awal terhadap alQur’an untuk menjaga keutamaan ajaran Islam. Selanjutnya, umat Islam dituntut untuk mampu menafsirkan ajaran agama mereka agar bersifat mudah dan aplikatif dengan pendekatan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang mereka hadapi. Namun perlu diingat bahwa penafsiran tersebut tidak melampaui batasan-batasan yang telah ditetapkan Allah Swt. (hudûd Allah).
j.
Sistematika
Sunnah
Sunnah
juga terdiri dari nubuwwah dan
risalah. Sunnah nubuwwah itu
mengandung pengetahuan-pengetahuan, yakni sebagai penjelas dan pemahaman umum
atas al-Qur’an.
Sunnah
risalah adalah ijtihad nabi dalam menerapkan kitab risalah. Sunnah ini juga
mengharuskan ketaatan yang berbentuk dua model yakni; Pertama, ketaatan mutlak
adalah ketaatan yang berlangsung terus-menerus, kapanpun dan dimanapun baik
ketika masih hidup atau setelah meninggal. Ketaatan ini hanya berlaku untuk
masalah hudud, ibadah dan akhlak. Sunnah ini
melengkapi penjelasan (al-bayân)
terhadap kandungan al-Qur’an dan bukan membawa hukum baru.
Sedangkan
Kedua, ketaatan sementara adalah ketaatan pada rasul pada saat ia masih hidup
dan kewajiban taat itu berhenti setelah ia meninggal dunia, seperti
putusan-putusan Rasul sebagai pemimpin negara, hakim, panglima perang, larangan
melukis, menulis bermain musik dan menyanyi.[13] Sunnah tersebut ditaati secara kontekstual bukan tekstual
yaitu dengan memperhatikan kandungannya dan disesuaikan dengan konteks
kekinian. Sebab, menurut Syahrur, posisi
Nabi Muhammad SAW. hanyalah sebagai orang yang memberi penjelasan (mubayyin) bukan penetap hukum baru yang
tidak terdapat dalam al-Qur’an (musyarri’). Sebab, menurutnya hanya
Allah SWT yang berhak untuk menetapkan ajaran agama lewat al-Qur’an. Karena
terjadinya pengharaman itu karena yang bermain melupakan kewajibannya dalam
beribadah kepada Allah Swt.
Jadi, dalam memahami sunnah
al-risâlah seperti ini umat Islam lebih dituntut untuk berijtihad dan
memahami hadis-hadis Nabi SAW secara kontekstual bukan tekstual, selama hal itu
tidak bertentangan dengan batasan-batasan yang telah ditetapkan Allah di dalam
al-Qur’an. Namun, hadis juga mestilah
sejalan dengan pemahaman umum al-Qur’an. Ketika ia bertentangan dengan informasi
al-Qur’an maka sunnah tersebut ditolak (marfûdh)
seperti hadis-hadis yang menjelaskan secara rinci tentang kerajaan Allah dan
hari kiamat serta sesuatu yang akan terjadi pada masa akan datang. Hal ini
didasarkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mengetahui perkara yang gaib,
sebagaimana yang dijelaskan dalam firman-Nya: Katakanlah: “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku,
dan tidak (pula) aku mengetahui yang gaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu
bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku”
(QS. al-An`âm/6: 50). Selain itu
firman-Nya “… dan sekiranya aku
mengetahui yang gaib, tentutlah aku aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya
dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan…” (Q.S. al-A’râf/7: 188).
Penjelasan suatu hadis yang sangat rinci mengenai sesuatu yang gaib yang tidak
ditemukan dalam al-Qur’an, mengindikasikan bahwa hadis itu palsu sehingga harus
ditolak. Sesungguhnya hal-hal gaib yang terdapat dalam kitabullah sudah cukup
dan orang yang mengingkarinya berarti telah keluar dari wilayah keimanan.[14]
k. Konsep Hanif dan Istiqamah
Istiqamah
dan hanif adalah dua sifat dari agama Islam yang membuat agama ini kuat. Sifat
hanif adalah gerak dinamis dalam syari’ah yang terus-menerus berubah dan
sanggup menghadapi perubahan, sementara istiqamah adalah pusat dari gerak
dinamis itu yang menjadi pedoman dan kontrol atas segala perubahan yang mungkin
terjadi dalam merespon zaman. Perubahan adalah gerak alamiah dari segala
eksistensi yang memiliki kekuatan besar dan tak bisa dilawan.[15]
3.
Karya-karya
a. Al-kitab wa al-Qur’an: Qira’ah
Mu’asyirah (1990)
Buku ini adalah buku pertama Syahrur
yang terdiri dari 822 halaman dengan
empat bab pembahasan. Penyusunan buku ini banyak dipengaruhi oleh Prof. Dr. Ja’far Dekk al-Bab rekan sekaligus gurunya dalam bidang linguistik. Syahrur bertemu dengan Ja’far di kala keduanya sama-sama belajar di Universitas Moskow. Ja’far banyak memberikan masukan khususnya dalam perumusan metodologi dan memberikan kata pengantar dalam buku ini. Buku ini merupakan hasil kajiannya selama lebih kurang 20 tahun (1970-1990).
empat bab pembahasan. Penyusunan buku ini banyak dipengaruhi oleh Prof. Dr. Ja’far Dekk al-Bab rekan sekaligus gurunya dalam bidang linguistik. Syahrur bertemu dengan Ja’far di kala keduanya sama-sama belajar di Universitas Moskow. Ja’far banyak memberikan masukan khususnya dalam perumusan metodologi dan memberikan kata pengantar dalam buku ini. Buku ini merupakan hasil kajiannya selama lebih kurang 20 tahun (1970-1990).
Setidaknya ada tiga tahapan dalam
penyusunan buku tersebut. Tahap pertama
(1970-1980). Masa ini diawali ketika ia berada di Universitas Dublin. Masa ini merupakan masa pengkajian (muraja’ât) serta peletakan dasar awal metodologi pemahaman aldzikr, al-kitâb, al-risâlah, al-nubuwwah dan sejumlah kata kunci lainnya. Tahap kedua (1980-1986). Masa ini merupakan masa yang penting dalam pembentukan “kesadaran linguistik”nya dalam pembacaan kitab suci yang diawali dengan berjumpa teman se-almamaternya Ja’far Dekk al-Bâb- yang menekuni linguistik di Universitas Moskow. Melalui Ja’far itulah, Syahrur banyak diperkenalkan dengan pemikiran ulama tata bahasa Arab semisal al-Farrâ’, Abû Alî al-Fârisî, Ibn Jinnî, serta al-Jurjanî. Setelah mendalami pemikiran tokoh-tokoh tersebut, Syahrur sampai kepada satu kesimpulan bahwa tidak ada sinonimitas (‘adam al-tarâduf) dalam bahasa Arab. Sejak tahun 1984, Syahrur mulai menulis pikiran-pikiran penting yang diambil dari ayat-ayat
yang tertuang dalam kitab suci. Melalui diskusi bersama Ja’far, Syahrur berhasil mengumpulkan hasil pikirannya yang masih terpisah-pisah.
(1970-1980). Masa ini diawali ketika ia berada di Universitas Dublin. Masa ini merupakan masa pengkajian (muraja’ât) serta peletakan dasar awal metodologi pemahaman aldzikr, al-kitâb, al-risâlah, al-nubuwwah dan sejumlah kata kunci lainnya. Tahap kedua (1980-1986). Masa ini merupakan masa yang penting dalam pembentukan “kesadaran linguistik”nya dalam pembacaan kitab suci yang diawali dengan berjumpa teman se-almamaternya Ja’far Dekk al-Bâb- yang menekuni linguistik di Universitas Moskow. Melalui Ja’far itulah, Syahrur banyak diperkenalkan dengan pemikiran ulama tata bahasa Arab semisal al-Farrâ’, Abû Alî al-Fârisî, Ibn Jinnî, serta al-Jurjanî. Setelah mendalami pemikiran tokoh-tokoh tersebut, Syahrur sampai kepada satu kesimpulan bahwa tidak ada sinonimitas (‘adam al-tarâduf) dalam bahasa Arab. Sejak tahun 1984, Syahrur mulai menulis pikiran-pikiran penting yang diambil dari ayat-ayat
yang tertuang dalam kitab suci. Melalui diskusi bersama Ja’far, Syahrur berhasil mengumpulkan hasil pikirannya yang masih terpisah-pisah.
Tahap
ketiga (1986-1990). Syahrur mulai mengumpulkan hasil pemikirannya yang masih
berserakan. Hingga tahun 1987, Syahrur telah berhasil merampungkan bagian pertama
yang berisi gagasan-gagasan dasarnya. Segera setelah itu, bersama Ja’far, Syahrur
berhasil menyusun “hukum dialektika umum” yang ia bahas di bagian kedua buku
tersebut. Pada tahun 1992, cetakan pertama buku ini diterbitkan di Mesir. Menurut Peter Clark, bahwa buku Syahrur ini telah mengguncang
dunia Arab dan sangat kontroversial, sehingga mengundang banyak kecaman. Namun, tidak dapat dinafikan bahwa buku ini mengusung
gagasan-gagasan yang cerdas dan liberal mengenai konsep-konsep al-Qur’an, baik
yang berkaitan dengan diskursur teologi, hukum, moral, maupun sosial
kemasyarakatan. Buku ini sangat menantang, sebab ia mencoba untuk
melakukan eksprimentasi pemikiran dan metodologi baru terhadap kajian al-Qur’an yang sangat mendasar.
melakukan eksprimentasi pemikiran dan metodologi baru terhadap kajian al-Qur’an yang sangat mendasar.
Buku
tersebut untuk pertama kali diterbitkan di Mesir oleh percetakan al-Ahâli yang
bermarkas di Damaskus. Buku ini sukses dan mendapat sambutan yang luar biasa
bahkan dinilai sebagai salah satu buku terlaris (best seller) di Timur Tengah. Terbukti, buku ini telah terjual kurang lebih 20.000 eksemplar
pada terbitan perdananya dan telah empat kali cetak ulang dalam kurun waktu
satu setengah tahun. Bahkan, versi bajakan dan poto copy banyak beredar di
Lebanon, Yordania, Mesir, termasuk di Indonesia. Terbitnya buku ini tentunya
menimbulkan respon yang beragam, baik pro maupun kontra. Bagi kalangan yang kontra dan menolak, gagasan dekonstruktif M.
Syahrur tersebut dinilai sebagai pendangkalan terhadap agama, sehingga
menyebabkan dirinya dituduh sebagai “an
enemy of Islam” dan “a western
zionist agent” serta ingkar sunnah.
Gugatan terhadap
bukunya, sempat mewarnai polemik di berbagai media, baik cetak maupun
elektronik di Timur Tengah. Syaikh Sa’id Ramadhân al-Bûthy, misalnya, di sebuah
jurnal Timur Tengah yang bernama Nahj al-Islâm menulis gugatannya dengan tajuk
“al-Khilâfiyah al-Yahûdiyah li Syi’âri
Qirâ’ah Mu’âshirah”. Lebih lanjut Dr. Syauqi Abû Khalil sembari mengulangi
gugatan al-Bûthî menganggap karya Syahrur tersebut sebagai perpanjangan tangan
zionis (tanfîzhan li washiyati
al-shahyûniyah). Adapun kritikan dan bantahan dalam bentuk buku antara lain
misalnya, Salîm al-Jâbî, yang menulis tesis yang bertajuk “al-Qirâ’ah al-Mu‘âshirah li al-Duktûr Syahrur: Mujarrad Tanjîm” (3
jilid terbit tahun 1991). Menurut Salîm bahwa karya Syahrur tersebut “hanyalah
dugaan semata” (mujarradu tanjîm) bukan karya hasil dari penelitian yang akurat dan
komprehensif. Gugatan serupa dilancarkan oleh Muhammad
Thâhir al-Syawwaf (ahli hukum dari Lebanon) dalam bukunya,Tahâfutu al- Qirâ’ah al- Mu‘âshirah (terbit tahun 1993). Menurutnya
bahwa buku Syahrur tersebut telah “diracuni” idiom-idiom dan retorika Marxian. Terdapat juga kritik yang secara tajam menganalisa metode dan
pendekatan linguistik Syahrur yaitu kitab “Munâqasyât
al-Isykâliyah al-Manhajiyah fî al-Kitâb wal al-Qur’ân” karya Muhammad Mâhir al-Munjid yang juga
dimuat dalam majalah ‘Alâm al-Ma’rifah. Selain itu kitab “Baidhot al-Dîkî; Naqd Lughawî li Kitâb “al-Kitâb wa al-Qur’ân”
Yûsuf al-Shaidawî yang lebih banyak mengkritisi aspek linguistik yang diusung
oleh Syahrur.
Sebaliknya,
bagi kalangan yang setuju dengan pemikiran Syahrur, memberikan penilaian
positif dan menganggap bahwa karyanya itu merupakan pembacaan baru yang memberikan
pencerahan. Wael Hallaq menyatakan bahwa pandangan-pandangan Syahrur lebih
meyakinkan daripada karya ulama lainnya. Sebab metodologi yang ditawarkannya lebih
kuat dan logis. Oleh karena itu, metodologi ini semestinya diterapkan dalam
sistem pemikiran Islam karena bersesuaian dengan konteks sosial. Selain itu, terdapat pula karya-karya yang mengaguminya dari para
sarjana Barat atau Islamolog seperti Peter Clark dalam bukunya “Review Article: The Syahrur Phenomenon: A
Liberal Islamic Voice from Syiria”, Charles Kurzman dalam bukunya “Liberal Islam: A Source Book” dan Dale
F. Eickelman dalam dua tulisannya “Islamic Liberalism Strikes Back” dan “Inside the Islamic Reformation”. Andreas
Christmann dosen University of Manchester, Inggris, yang memuji usaha Syahrur
yang gigih mendekonstruksi konsesus ulama (ijmâ’
ulamâ’) tradisional dalam bidang tafsir dalam tulisannya “The Form is Permanent, but The Content
moves: The Qur’anic Text an its
Interpretations in Mohamad Shahrour’s al-Kitâb wa al-Qur’an”.
b. Dirasah Islamiyyah Mu’asyirah fi
al-Daulah wa al-Mujtama’ (1994)
Pada tahun 1994, percetakan al-Ahâli
kembali menerbitkan karya kedua Syahrur. Buku ini terdiri dari 375 halaman yang
dibagi dalam sembilan bab pembahasan. Dengan sangat tajam buku menguraikan
tema-tema sosial politik yang terkait dengan persoalan warga negara (civil) maupun negara (state). Secara konsisten, Syahrur
menguraikan tema-tema sentral seperti al-usrah,
al-ummah, al-sya‘ab, al-dimuqrâthiyyah wa al-syûrâ, al-daulah, dan al-jihâd
dengan senantiasa terikat pada rumusan teoritis yang telah ia gariskan di dalam
buku pertamanya. Syahrur berkesimpulan bahwa urusan negara dan warganya tidak
diatur dengan rinci di dalam al-Qur’an, oleh karena itu para sahabat berijtihad
dalam menafsirkan firman Allah dengan melihat kepada praktik yang pernah dicontohkan
Nabi SAW Oleh karena itu, menurut Syahrur sangat penting bagi umat Islam untuk
senantiasa melakukan pembaharuan pemikiran untuk kemaslahatan umat Islam itu
sendiri.
c. Al-Islam wa al-Iman: Manzumah
al-Qiyam (1996)
Selanjutnya pada tahun 1996, Syahrur
menelurkan kembali karya terbarunya
dengan tajuk “al-Islâm wa al-Îmân: manzhûmah al-qiyam” dengan penerbit yang sama. Buku ini terdiri dari 401 halaman yang dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama menjelaskan sekitar pengertian Islam dan Iman serta rukun-rukunnya, sedangkan bagian kedua menjelaskan pengertian al-‘ibâd dan al-‘abîd dan perbedaan keduanya di dalam al-Qur’an serta diakhiri dengan pendapatnya secara lugas dan tegas tentang hubungan Islam dan politik. Buku ini mencoba mendekonstruksi konsep klasik mengenai pengertian dan pilar-pilar (arkân) Islam dan Iman. Tentunya, kajian-kajiannya diarahkan pada penelaahan terhadap ayat-ayat yang termaktub dalam kitab suci dengan senantiasa setia pada rumusan teoritis yang ia bangun.
dengan tajuk “al-Islâm wa al-Îmân: manzhûmah al-qiyam” dengan penerbit yang sama. Buku ini terdiri dari 401 halaman yang dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama menjelaskan sekitar pengertian Islam dan Iman serta rukun-rukunnya, sedangkan bagian kedua menjelaskan pengertian al-‘ibâd dan al-‘abîd dan perbedaan keduanya di dalam al-Qur’an serta diakhiri dengan pendapatnya secara lugas dan tegas tentang hubungan Islam dan politik. Buku ini mencoba mendekonstruksi konsep klasik mengenai pengertian dan pilar-pilar (arkân) Islam dan Iman. Tentunya, kajian-kajiannya diarahkan pada penelaahan terhadap ayat-ayat yang termaktub dalam kitab suci dengan senantiasa setia pada rumusan teoritis yang ia bangun.
d.
Nahw
Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami: Fiqh al-Marh
(2000)
Buku ini juga diterbitkan oleh
percetakan al-Ahâlî di Damaskus. Buku ini terdiri 383 halaman yang dibagi dalam
enam bab yang menjelaskan pemikirannya secara rinci seputar wasiat, warisan,
kepemimpinan, poligami dan pakaian. Dalam bukunya ini Syahrur ingin menjelaskan
metodologi dan pendekatan baru dalam memahami fiqih yaitu teori limit (hudûd Allah). Buku ini cenderung
mendobrak pendapat ulama klasik yang masih mengakar dalam tradisi keilmuan umat
Islam. Metodologi fiqih barunya ini muncul didasari atas kesadaran bahwa
risalah Muhammad SAW merupakan risalah yang sesuai setiap masa dan tempat,
tidak hanya risalah bagi masyarakat abad ke-7 Hijriah. Syahrur melihat bahwa
perlu adanya pemahaman baru dalam ibadah, muamalah dan akhlak dan tidak lagi
bertaklid secara buta terhadap mazhab fiqih yang ada seperti Hanafî,
Mâlikî, Syafi’î, dan Hanbalî.
Kegelisahan inilah yang mendorong Muhammad Syahrur untuk mengkaji ulang
al-Qur’an dan Sunnah dalam menggagas fiqih barunya.
e. Tajfîf Manâbi‘
al-Tarhîb
Buku terakhir ini diterbitkan pada
pertengahan tahun 2008. Buku ini terinspirasi dari tragedi 11 September (911)
yang menggoncang Amerika Serikat ulah dari para teroris. Syahrur mencoba untuk
memaparkan kekeliruan sebagian orang yang menjadikan agama sebagai alasan untuk
berbuat kekerasan terhadap orang lain. Oleh karena itu, Syahrur menjelaskan dalam bukunya ini makna
daripada istilah jihad, qitâl
(perang), amar ma’rûf nahi mungkar, murtad, dan maqasid al-syari’ah. Di sisi
lain buku ini juga hendak menguraikan bahwa kedatangan Islam adalah rahmat bagi
semesta alam.
Di
samping itu, Syahrur juga kerap menyumbangkan hasil pemikirannya
lewat artikel-artikel dalam seminar atau media publikasi, seperti “Reading The Religious Text-a New Approach”, “The Divine Text and Pluralism in Muslim Societies” dalam Muslim Politics Report (1997), dan “Islam and the 1995 Beijing World Conference on Woman”, dalam Kuwaiti Newspaper, yang kemudian dipublikasikan juga dalam Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam: A Sourcebook (New York & Oxford: Oxford University Press, 1998). Di samping sebagai penulis Syahrur juga aktif dalam seminar internasional mempresentasikan ide-ide mengenai al-Qur’an, sosial-politik, pluralisme dan hak-hak wanita, seperti dalam forum MESA conference tahun 1988 di Chicago.[16]
lewat artikel-artikel dalam seminar atau media publikasi, seperti “Reading The Religious Text-a New Approach”, “The Divine Text and Pluralism in Muslim Societies” dalam Muslim Politics Report (1997), dan “Islam and the 1995 Beijing World Conference on Woman”, dalam Kuwaiti Newspaper, yang kemudian dipublikasikan juga dalam Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam: A Sourcebook (New York & Oxford: Oxford University Press, 1998). Di samping sebagai penulis Syahrur juga aktif dalam seminar internasional mempresentasikan ide-ide mengenai al-Qur’an, sosial-politik, pluralisme dan hak-hak wanita, seperti dalam forum MESA conference tahun 1988 di Chicago.[16]
C.
Kesimpulan
Syahrur merupakan seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam yang
sangat terkenal namanya di kalangan pemikir Islam kontemporer, disamping pula
ia juga seorang saintis yang juga mempunyai pengaruh terutama di negaranya
Suriah. Ia
belajar ilmu filsafat terutama filsafat bahasa dan humanisme secara otodidak.
Hal ini dapat dilihat dalam karyanya “Al-Kitab
wa Al-Qur’an” yang fenomenal penulisannya juga berlangsung selama 20 tahun
lamanya. Menurutnya, Peradaban Islam mengalami
stagnasi dan tidak mampu memecahkan problem fundamental pemikiran ke-Islaman,
karena masih dipenuhi berbagai taqlid tentang konsep qadha` dan qadar, faham
jabariah, problematika pengetahuan, konsep negara, problem sosial ekonomi,
demokrasi dan penafsiran atas sejarah. Oleh karena itulah, Niat yang kuat untuk keluar dari krisis pemikiran dan
sakit mental yang traumatik terhadap dunia luar adalah dengan lebih
berorientasi kepada usaha menemukan metode-metode ilmiah yang dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah dalam menafsirkan al-Qur`an dan Sunnah.
Persoalan subyektif dan obyektif, metode dan pendekatan, hubungan teks dan
konteks, pembicara dan yang diajak bicara adalah tema-tema penting dalam studi
terhadap teks apalagi teks yang dinilai suci dan berasal bukan dari karangan manusia
tetapi dari Tuhan.[17]
Daftar
Pustaka
Abidin,
Zainal, t.th, Rethinking Islam dan Iman;
Studi Pemikiran Muhammad Syahrur, (Banjarmasin: IAIN Antasari Press).
AH Iyubenu, Edi,
2015, Berhala-Berhala Wacana,
(Jogjakarta: IRCiSoD).
Ardiansyah,
2009, Konsep Sunnah
Dalam Perspektif Muhammad Syahrur: Suatu Pembacaan Baru Dalam Kritik Hadis, Jurnal MIQOT Vol. XXXIII
No. 1: IAIN SU Medan.
Aseri
dkk, Akh Fauzi, 2014, Kesinambungan dan
Perubahan dalam Pemikiran Tentang Asbabun Nuzul Kontemporer, Jurnal Tashwir
vol 2 no 3: IAIN Banjarmasin.
Asriaty,
2014, Menyoal persoalan Hukum Islam
Muhammad Syahrur, Jurnal Hukum Islam Vol. 13
No.2 : PTIQ Jakarta.
digilib.uinsby.ac.id.
Ibrahim,
Duski, 2014, Metodologi
Penelitian dalam Kajian Islam, Jurnal
Intizar vol 20 no 2: UIN Palembang.
Mujahidin,
Anwar, 2012, Subyektivitas Dan Obyektivitas dalam Studi Al-Qur`an, Jurnal Studi Agama dan Pemikiran
Islam Vol 6 No 2: STAIN Ponorogo.
Sahrodi,
Jamali dkk, 2010, Antologi Tokoh;
Menelusuri Jejak Pemikiran Tokoh-Tokoh Islam, (Jogjakarta: Pilar Religia).
[1]
digilib.uinsby.ac.id diunduh tanggal 23 september 2016.
[2] Asriaty, 2014,
Menyoal persoalan Hukum Islam Muhammad
Syahrur, Jurnal Hukum Islam Vol. 13 No.2 : PTIQ Jakarta, hal 5.
[3] Jumali
Sahrodi dkk, 2010., Ibid hal 252-254.
[4] Edi AH
Iyubenu, 2015., Ibid hal 33-34
[5] Duski
Ibrahim, 2014, Metodologi Penelitian dalam Kajian Islam,
Jurnal Intizar vol 20 no 2: UIN Palembang, hal 254.
[6] Zainal
Abidin, t.th, Rethinking Islam dan Iman;
Studi Pemikiran Muhammad Syahrur, (Banjarmasin: IAIN Antasari Press), hal
26-29
[7] Zainal
Abidin, t.th, Ibid., hal 80.
[8] Zainal
Abidin, t.th, ibid hal 48-52.
[9] Zainal
Abidin, t.th, ibid hal 76-78.
[10] Akh Fauzi
Aseri dkk, 2014, Kesinambungan dan
Perubahan dalam Pemikiran Tentang Asbabun Nuzul Kontemporer, Jurnal Tashwir
vol
2 no 3: IAIN Banjarmasin, hal 6-7.
[11] Jumali
Sahrodi dkk, 2010, Antologi Tokoh;
Menelusuri Jejak Pemikiran Tokoh-Tokoh Islam, (Jogjakarta: Pilar Religia),
hal 249-251.
[12] Edi AH
Iyubenu, 2015, Berhala-Berhala Wacana,
(Jogjakarta: IRCiSoD), hal 32-33.
[13] Jumali
Sahrodi dkk, 2010., Ibid hal 252-260.
[14]
Ardiansyah, 2009, Konsep Sunnah Dalam
Perspektif Muhammad Syahrur: Suatu Pembacaan Baru Dalam Kritik Hadis,
Jurnal MIQOT Vol. XXXIII No. 1: IAIN SU Medan, hal 10-13.
[15]. Jumali
Sahrodi dkk, 2010., Loc. cit.
[17] Anwar Mujahidin, 2012, Subyektivitas
Dan Obyektivitas dalam Studi Al-Qur`an, Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam Vol 6 No 2: STAIN Ponorogo,
hal 7-8.
Comments
Post a Comment