A.
Pendahuluan
Di sepanjang sejarah Islam terdapat
kritik yang cukup tajam terhadap sufisme, lebih khusus tarekat. Para pemikir
Islam yang cenderung literalis dan legalis menentang praktek-praktek tarekat
sufi karena dianggap menyediakan sarana bagi keyakinan-keyakinan non-Islam.
Pada abad ke-18, opisisi terkuat terhadap tarekat datang dari gerakan Wahabiyah
yang tengah berkembang. Pada era modern, para pembaru mengkritik keras tarekat
karena dinilai memperkukuh kepercayaan takhayul yang berakar kuat dalam
masyarakat awam. Oposisi kaum modernis semacam itu dapat dilihat dari berbagai
kecenderungan yang terjadi di berbagai negeri muslim. Seperti di Mesir,
Muhammad ‘Abduh (w.1905) memelopori penentangannya atas praktekpraktek kultus
dan berbagai pengaruh negatif tarekat-tarekat sufi.[1]
Tarekat bermula dari tasawuf yang
kemudian berkembang dengan berbagai macam paham dan aliran. Sedang pengertian Tasawuf
itu sendiri secara umum adalah usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan
sedekat mungkin melalui kesucian rohani dalam memperbanyak ibadah. Untuk
mendekatkan diri kepada Allah dalam tarekat diperlukan adanya bimbingan seorang
guru/syekh, sebab bagi yang beribadah tanpa bimbingan guru/pembimbing, berarti
dia dibimbing orang ketiga, orang ketiga dimaksud adalah setan.[2] Jadi,
tarekat adalah jalan, petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadat sesuai dengan
ajaran yang ditentukan, dicontohkan oleh Nabi Muhamad saw. dan dikerjakan oleh
sahabat serta tabi’in, turun temurun sampai kepada guru-guru, sambung
menyambung dan rantai berantai. Guru-guru yang memberikan petunjuk dan
bimbingan biasanya disebut dengan istilah Mursyid. Semua bimbingan yang
diberikan seorang guru kepada muridnya dalam hal ibadah dinamakan tarekat dan
yang terpenting di antara bimbingan praktis tersebut adalah hal-hal yang
berhubungan dengan zikir serta tata caranya.[3]
Adapun tarekat secara "khusus" diartikan
sebagai lembaga/institusi yang berorintasi kepada pembentukan hubungan yang
intensif bagi ketaqarruban hamba dengan Allah swt. Definisi ini tampaknya tidak
memberikan ruang yang luas bagi gerak dan implikasi lembaga ini, namun
kenyataan ini tetap mengalami evolusi dari satu kondisi dan pencitraan dari
satu realitas ke realitas lainnya. Hal ini dapat dilihat dengan berkembangnya
fungsi eksklusif menjadi inklusif ketika kita melihat peran tarekat yang sangat
terbukan, sebagai fakta pada masa perkembangan masa penjajahan di Indonesia lembaga-lembaga
tarekat merupakan kekuatan tersendiri bagi upaya melawan penjajah. Dalam
konteks saat ini pun tarekat terkadang dijadikan sebagai salah satu
"kekuatan" politik kekuatan. Terlepas dari isu-isu politik tersebut,
tarekat yang semula notabene adalah pada kelompok-kelompok
"marginal", pedesaan, kini sudah menyebar kepada kelompok menengah
dan perkotaan. "Imprealisasi" ini terus bergulir keberbagai kalangan,
kawasan dan membawa misi yang tidak terbendung mengingat gerakannya sangat
"membumi".
Pada faktanya di era kontemporer,
khususnya 50 tahun terakhir ini, tarekat tetap dapat eksis dan berperan dalam
dinamika masyarakat muslim. Meskipun kesan umum seolah menyatakan bahwa tarekat
itu stagnan, jika ditelusuri lebih dalam akan terlihat dinamika dan respon
aktualnya dalam menghadapi isu dan trend yang tengah terjadi.[4]
B. Pembahasan
1. Data Lapangan
Hasil ini berdasarkan penelitian saya setelah shalat Jum’at selesai dilaksanakan di rumah pengurus Pondok
Pesantren al-Anwar Putra yang bernama Falah Failasuf[5].
Beliau juga selaku anggota/pengamal ajaran Tarekat Tijaniyah di daerah
Pasawahan, Cirebon. Menurut keterangannya, pertama, dari sejarahnya tarekat
Tijaniyah merupakan sebuah tarekat yang didirikan oleh Syeikh Ahmad at-Tijani yang
bernama lengkap Ahmad bin Muhamad bin Mukhtar at-Tijani, dilahirkan pada hari
Kamis 13 Shafar Shafar tahun 1150 H (1737 M) di Ain Madhi atau disebut juga
dengan Madhawi, di Sahara Timur, Maroko. Nama Tijani dari Tijaniah yang berasal
dari keluarga ibunya yaitu Sayyidah Aisyah binti Abu Abdillah Muhammad bin
al-Sanusi at-Tijani al-Madhawi dari keluarga Kabilah Tijan. Kabilah ini banyak
melahirkan Ulama-Ulama dan wali-wali yang saleh. Dilihat dari tahun
kelahirannya, at-Tijani hidup sezaman dengan Syekh Abdus Somad al-Palimbani
(1150 H -1230 H) seorang tokoh tasawuf Sunni pembawa tarekat Sammaniyah ke
Nusantara, bahkan Andi Syarifuddin mengatakan ketika Abdus Somad al-Palimbani
berada di Makkah al-Musyarrofah ia pun bertemu dengan Syekh Ahmad
at-Tijani.
Garis keturunan Syekh Ahmad at-Tijani
bersambung kepada Rasulullah SAW dari pihak ayahnya yaitu Ahmad bin Muhammad
Salim bin al- ‘Id bin Salim bin Ahmad al-Alwani bin Ahmad bin Ali bin Abdullah
bin al-Abbas bin al-Jabbar bin Idris bin Ishak bin Ali Zainal Abidin bin Ahmad
bin Muhammad al-Nafsiz Zakiyah bin Abdullah bin Hasan al-Mutsanna bin al-Sibthi
bin Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah al-Zahra binti Rasulullah SAW.
Sebagaimana kebanyakan orang-orang pilihan Allah SWT, at-Tijani sudah hafal
al-Qur’an ketika masih kanak-kanak, yaitu ketika usianya 7 (tujuh) tahun. Ia
juga dengan giat mempelajari ilmu-ilmu Islam seperti ilmu Ushul, Furu’ dan
Adab, sehingga ketika masih remaja iapun sudah dapat mengajarkan ilmu-ilmu
tersebut.
Ketika ia berumur 21 tahun ia mulai
memasuki dunia sufi. Syekh Ahmad at-Tijani pernah mengambil tarekat Qadiriyyah
Abd al-Qadir Jailani di Fas, akan tetapi tarekat Qadiriyyah ini ia tinggalkan.
Selain tarekat Qadiriyyah, ia juga pernah mengambil tarekat Khalwatiyyah dari
Abi Abdillah bin abd al-Rahman al-Azhari, kemudian tarekat Nashiriyyah dan
tarekat Sayyid Muhammad al-Habib bin Muhammad, akan tetapi tarekatini pun ia
tinggalkan. Sebelum mengembangkan tarekatnya sendiri, Syekh Ahmad at-Tijani menemui
beberapa Wali Quthub, diantaranya Sayyid Muhamad bin Hasan alWanjali, seorang
tokoh dari tarekat al-Syaziliyah yang memberitahukan kepada Syekh Ahmad
at-Tijani bahwa ia akan menemukan kedudukan sebagai al-Quthbul al-Kabir.
Ketika Syekh Ahmad at-Tijani berumur 46
tahun dan setelah banyak mengalami kasyaf atau penyingkapan akan
rahasia-rahasia Allah, at-Tijani mendapatkan wirid khusus dari
Rasulullah SAW dalam keadaan jaga (tidak dalam keadaan kantuk atau tidur) dan
diperintahkan untuk mengajarkannya, yaitu berupa istighfar, sholawat dan
kalimah tahlil. Bertemu dengan Rasulullah SAW dan memberikan wirid,
di kalangan para sufi adalah anugerah dari Allah SWT sebagai hasil dari taqarrub
ilallah serta kecintaan yang sangat kepada Rasulullah SAW. Pada bulan
Muharam 1214 H at-Tijani sampai pada martabat al-Quthub al-Kamil, al-Quthub
al-Jami’ dan al-Quthub al-Udzma. Dan pada tahun yang sama tepatnya hari ke
18 Shafar, at-Tijani dianugerahi sebagai al-Khatmu al-Auliya’ al-Maktum (Penutup
para Wali yang tersembunyi). At-Tijani wafat di Faz Maroko pada tahun 1230 H.
Adapun tarekat ini pertama kali masuk dan berkembang adalah di Pesantren Buntet, Cirebon, kemudian menyebar ke seluruh Indonesia. Di daerah Pasawahan sendiri ada sekitar ribuan Ikhwan/anggota tarekat Tijaniyah dan hampir selalu ada yang di bai'at di masjid yang berada di sebelah rumah pak Falah.
Kedua, mengenai pembai’atan yang
mempunyai hak membai’at adalah seorang
muqaddam dan setelah di bai’at, orang tersebut harus siap mengamalkannya
ajarannya seumur hidupnya dan tidak boleh keluar dari tarekat Tijaniyah.
Ketiga, amalan zikir dalam tarekat
Tijaniyah terbagi dua; pertama zikir wajib yang bernama Lazim terdiri dari tiga
bagian adalah sebagai berikut.
a.
Zikir lazimah terdiri dari tiga lafaz
(ucapan) yaitu: ( 1) Istighfar berupa ucapan astaghfirullah yang
diucapkan sebanyak 100 kali. (2) Sholawat kepada Rasulullah SAW yang diucapkan
juga dengan bilangan 100 kali. Sholawat yang dibaca dalam tarekat Tijaniyah
disebut dengan sholawat fatih yaitu “Allahumma Sholli ‘ala Sayyidina
Muhammadinil Faatihi Lima Ughliq Walkhootimi lima Sabaq Naashiril Haqqi bil
Haqq Wal Haadi Ilaa Shirootikal Mustaqiim Wa “ala Aalihi Haqqo Qodrihi
Wamiqdaarihil A’dzim “ Pembacaan sholawat pada zikir lazimah dengan
bilangan 100 kali tersebut boleh dilakukan dengan rincian 10 kali dengan
sholawat al-fatih, 90 kali dengan sholawat lainnya seperti Allahumma Sholli
‘Ala Sayyidina Muhammad Wa “ala Aali Sayyida Muhammad, akan tetapi lebih
baik jika sholawat dengan bilangan 100 kali tersebut semuanya adalah sholawat fatih.
(3) Lafaz atau kalimah tahlil yaitu La Ilaaha Illa Allah, juga
diucapkan sebanyak 100 kali. Zikir Lazimah ini
adalah zikir wajib dalam tarekat Tijaniyah yang dikerjakan 2 (dua) kali dalam
satu hari, dikerjakan setelah sholat shubuh dengan rentang waktu sampai
sebelum zuhur (waktu dhuha). Setelah itu ia dikerjakan setelah sholat Ashar dengan rentang waktu sampai habis waktu sholat isya’. Jika zikir lazimah ini tidak dilakukan dengan alasan uzur maka para Ikhwan (sebutan untuk anggota tarekat Tijaniyyah) wajib mengqodhanya.
adalah zikir wajib dalam tarekat Tijaniyah yang dikerjakan 2 (dua) kali dalam
satu hari, dikerjakan setelah sholat shubuh dengan rentang waktu sampai
sebelum zuhur (waktu dhuha). Setelah itu ia dikerjakan setelah sholat Ashar dengan rentang waktu sampai habis waktu sholat isya’. Jika zikir lazimah ini tidak dilakukan dengan alasan uzur maka para Ikhwan (sebutan untuk anggota tarekat Tijaniyyah) wajib mengqodhanya.
Untuk melakukan zikir
lazimah ini seorang ikhwan perlu memperhatikan syarat-syarat yang telah
ditetapkan, baik syarat-syarat umum maupun syarat khusus. Syarat umum adalah
berwudhu’ serta suci badan, pakaian dan tempat zikir dari najis. Ketentuan atau
syarat khusus adalah bahwa zikir tersebut dilakukan dengan istihdlarul qalbi
(menghadirkan hati) serta meresapi makna yang terkandung dalam setiap lafaz
zikir.
b. Zikir wadzifah. Lafaz yang diucapkan dalam zikir wadzifah
terdiri dari 4 (empat) macam yaitu: (1) bacaan istighfar yaitu astaghfirullahal
’azhim Alladhi Laa Illaha Illa Huwal Hayyul Qoyyum. Bacaan ini
dibaca sebanyak 30 kali. (2) Sholawat fatih sebanyak 50 kali. Pembacaan
Sholawat fatih dalam zikir wazhifah tidak boleh diganti dengan yang
lain. (3) Lafaz Tahlil sebanyak 100 kali (4) Sholawat Jauharatul Kamal 12
kali, bila tidak dapat memenuhi persyaratannya boleh diganti dengan membaca
Sholawat fatih sebanyak 20 kali.
Zikir ini dilakukan cukup satu kali
dalam sehari semalam, waktunya tidak ada ketentuan khusus, boleh dilakukan
tengah malam, selesai sholat shubuh dan seterusnya. Wadzifah sebaiknya
dilakukan secara berjamaah, tetapi boleh dilakukan sendirian. Pembacaan zikir wadzifah
juga diharuskan dengan mensucikan
badan pakaian dan tempat dari najis, serta disyaratkan untuk suci dari hadast
besar dan kecil.
c.
zikir hailalah. Zikir
hailalah merupakan salah satu zikir yang menjadi pokok tarekat
Tijaniyah, oleh karena itu setiap anggota tarekat wajib melakukannya, sangat
dianjurkan untuk dilakukan secara berjama’ah. Apabila dilakukan berjama’ah maka
waktunya sampai maghrib saja, namun jika dilakukan sendirian batasan adalah
paling sedikit zikir dilakukan 1000 kali atau paling banyak 1600 kali. Adapun
waktunya adalah setiap hari Jum’at sore sampai terbenam matahari. Lafaz yang
diucapkan adalah kalimah Tauhid La Ilaaha Illa Allah.
Ø Poin a dan b dibaca dalam hati saja, sedangkan “c“ dibaca
secara keras.
Ø Adapun
semua syarat suci dalam artian berwudhu sebelum berdzikir adalah agar tujuan
dari dzikir tersebut tercapai yakni para ikhwan Tijani dapat bertemu secara
sadar dengan Rasulullah saw.
Ø Zikir
yang terakhir adalah sunnah hukumnya jadi jika tidak dibaca juga tidak apa-apa
dan itu sangat banyak jumlahnya.
Keempat, mengenai makna lambang tarekat Tijaniyah
yang terdapat di dinding sebelah kiri tepat di ruang depan di dalam rumahnya. Lambang
tarekat Tijaniyah sendiri berbentuk sendal Rasulullah dengan warna kuning. Itu
bermakna semua gerak langkah anggota (ikhwan) Tijani
harus dalam lingkaran sunnah Rasulullah saw. serta latar keseluruhan lambang
tarekat berwarna hijau. Di dalamnya terdapat:
a. Di
tengah yang terbesar, nama syeikh Ahmad bin Muhammad at-Tijani membentuk kendi,
di bentuk dengan lambang tujuh ujung tangkai daun berwarna merah. Itu bermakna
tujuh bacaan Shalawat Jauharatul Kamal. Tulisan syeikh Ahmad bin Muhammad
at-Tijani berwarna kuning menggunakan tulisan kufi (Kuffah, Irak). Di daerah
kendi terdapat aliran air yang berasal dari kedua butir air (kanan dan kiri) berwarna
biru di atas ujung kendi, itu bermakna diharapkan keberkahan syeikh at-Tijani
selalu melimpah ruah kepada para anggotanya (ikhwan
Tijani).
b. Di atas ada tiga tulisan. Pertama, al-Khatmul Muhammadiyul Ma’lum.
Kedua, berbentuk dua butir air berwarna biru di kanan (dari sisi pembacanya)
bertuliskan al-Quthbul Maktum dan kiri bertuliskan al-Barzakhil Maktum.
Kesemuanya itu melambangkan keangungan martabat kewalian syeikh ahmad
at-Tijani.
c. Di setiap sisi di luar sandal Rasulullah seperti tali,
melambangkan ikatan, pegangan dan persatuan yang kuat terhadap ajaran agama
Islam.
Terakhir,
menurut bapak Falah, perbedaan antara orang yang
bertarekat dengan yang tidak adalah ibarat orang sedang minum air. Yang tidak
bertarekat meminum melalui gelas biasa, sedangkan yang bertarekat meminum
menggunakan gelas langsung dari Nabi.
[1] Fauzan
Saleh, 2010, Tarekat dan Reposisi
Antara Kelas Bawah Kelas Menengah, Jurnal Darussalam, Volume 11, No.2, hal 1-2
[2] Noor’ainah, 2010, Ajaran Tasawuf Tarekat Tijaniyah, Jurnal Ilmu Ushuluddin Vol. 10, No. 1, hal 2.
[3] Choiriyah, 2014, Ajaran Tarekat Syekh Ahmad At-Tijani:
Analisis Tujuan Dakwah,
Jurnal Wardah No. XXVII/ Th. XV. Hal
1.
[4] Fauzan
Saleh, 2010, Loc. cit.
[5] Adapun
riwayat pendidikannya di sebuah MI di daerah Rembang, Mts di Tebu Ireng, Jombang dan MA di Pati, Jateng.
Comments
Post a Comment