Logika dan Wahyu menurut Ibnu Rusyd

Logika dan Wahyu menurut Ibnu Rusyd

Nama lengkap Ibnu Rusyd adalah  Abu Al-Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Rusyd. Beliau dilahirkan di Cordova, Andalus pada tahun 510H/1126M.[1] Ayah dan kakeknya merupakan pencinta ilmu dan ulama yang cukup disegani di Spanyol. Ayahnya yang bernama Ahmad Ibnu Muhammad (487-563 H) merupakan seorang faqih (ahli hukum Islam) dan pernah menjadi hakim di Cordova. Sementara kakeknya, Muhammad bin Ahmad (wafat 520 H-1126 M) merupakan ahli fiqh madzhab Maliki dan imam masjid Cordova serta pernah menjabat sebagai hakim agung di Spanyol. Sebagaimana ayah dan kakeknya, Ibnu Rusyd juga pernah menjadi hakim agung di Spanyol.
Pendidikan yang dienyam oleh Ibnu Rusyd diawali dari belajar Al-Qur’an di rumahnya sendiri dengan ayahnya. Kemudian beliau belajar dasar-dasar ilmu keislaman seperti Fiqh, Ushul Fiqh, Hadits, Ilmu Kalam, Bahasa Arab dan Sastra. Dalam ilmu Fiqh ia belajar dan menguasai kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik. Selain kepada ayahnya sendiri, ia juga belajar kepada Abu Muhammad bin Rizq dalam disiplin ilmu perbandingan hukum Islam (fiqh ikhtilaf) dan kepada Ibn Basykual di bidang hadits. Dalam bidang ilmu kedokteran dan filsafat ia belajar kepada Abu Ja’far Harun al-Tardjalli (berasal dari Trujillo). Selain itu gurunya yang berjasa dalam bidang kedokteran adalah Ibn Zhuhr.[2]
Di usia 18 tahun, Ibnu Rusyd bepergian ke Maroko, di mana doa belajar kepada Ibnu Thufail. Dalam ilmu Tauhid beliau berpegang pada paham Asy’ariyah dan ini membukakan jalan baginya untuk mempelajari ilmu filsafat. Ringkasnya, Ibnu Rusyd adalah seorang tokoh filsafat, agama, syariat dan kedokteran yang terkenal pada waktu itu.[3] Salah satu hal yang sangat mengagumkan di dalam diri Ibnu Rusyd, adalah hampir seluruh  hidupnya dipergunakan untuk belajar dan membaca. Menurut Ibnu Abrar, walaupun rasanya terlalu berlebihan,  sejak mulai berakal Ibnu Rusyd tidak pernah meninggalkan berpikir dan membaca,  kecuali pada malam ayahnya meninggal dan malam pernikahannya.[4]
Pada bagian yang kedua ini saya akan membahas tentang latar belakang pemikiran Ibnu Rusyd. ia  terkenal sebagai “Pengulas Aristoteles” (komentator), suatu gelar yang diberikan oleh Dante (1265-1321) dalam bukunya Divina Commedia (Komedi Ketuhanan). Gelar ini memang tepat untuknya, karena pikiran-pikirannya mencerminkan usahanya yang keras untuk mengembalikan pikiran-pikiran Aristoteles kepada kemurniannya yang semula, setelah bercampur dengan unsur-unsur Platonisme yang cukup memburukkan dan yang dimasukkan oleh pengulas-pengulas (filsuf) Iskandariah.
Selama hidupnya, Ibnu Rusyd berkeyakinan bahwa filsafat Aristoteles jika dipahami sebaik-baiknya, maka tidak akan berlawanan dengan pengetahuan tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia, bahkan perkembangan kemanusiaan telah mencapai tingkat yang tertinggi pada diri Aristoteles sehingga tidak ada orang yang melebihinya. Dalam mempelajari pikiran-pikiran Aristoteles, Ibnu Rusyd menggunakan terjemahan buku-buku Aristoteles asli dan terjemahan ulasan-ulasannya. Ia berusaha keras untuk menjelaskan pikiran-pikiran Aristoteles yang masih gelap dan memperbandingkannya satu sama lain. Namun demikian, Ibnu Rusyd tidak terhindar dari kesalahan-kesalahan yang pernah dialami oleh orang-orang sebelumnya. Hal ini dapat dipahami, karena bisa saja terjemahan-terjemahan tersebut tidak sanggup menyatakan dengan teliti terhadap pikiran-pikiran Aristoteles yang terdapat dalam bahasa Yunani.[5]
Masuk ke pembahasan terakhir saya akan menjelaskan tentang logika dan wahyu menurut Ibnu Rusyd. Sesuai dengan latar belakang pemikirannya ia merupakan seorang filosof Islam yang mementingkan akal daripada perasaan. Menurutnya semua persoalan agama harus dipecahkan dengan kekuatan akal. Dalam hal ini termasuk ayat-ayat yang erat kaitanya dengan akal. Dalam hal ini Ibn Rusyd masuk tokoh atau pemikir yang menggunakan nalar dan pendekatan analogi (qiyas). Dengan kata lain, Ia memposisikan term “akal” di atas term lain serta menjadikanya sebagia sumber hukum dari berbagai persoalan yang dibahas. Menurut Ibn Rusyd filsafat adalah perhatian terhadap hal-hal yang sejalan dengan rasio mengenai semua hal maujud. Sehingga bagi Ibn Rusyd tugas filsafat tidak lain adalah berfikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta semua yang ada. Dan kalaupun pendapat akal bertentangan dengan wahyu, maka harus diberi interpretasi lain sehingga sesuai dengan pendapat akal.[6]
Meski demikan, sebagai seorang filosof muslim, Ibn Rusyd tidak sepenuhnya menyerahkan segala persoalan kepada kemampuan akal semata. Akan tetapi ada batas-batas tertentu sejauh mana persoalan itu dapat dirasionalkan. Hal itu dimaksudkan agar orang tidak taqlid buta terhadap doktrin yang dianut. Batas-batas itu adalah dengan menggunakan takwil, bahwa ayat-ayat alQur’an mempunyai arti lahir dan batin. Dengan kata lain, Orang awam hanya terbatas pada arti lahirnya saja sedangkan arti batin, hanya dapat dipahami oleh para filosof dan tidak boleh disampaikan pada kaum awam.[7]
Di dalam kitabnya Fashul Maqal, Ibn Rusyd menandaskan bahwa logika harus dipakai sebagai dasar segala penilaian tentang kebenaran. Dalam mempelajari agama, orang harus belajar memikirkannya secara logika. Akan tetapi, disamping mememntingkan logika sendiri dalam memecahkan masalah yang gaib dan aneh yang berhubungan dengan agama.[8]
Dalam bagian terakhir ini saya akan memaparkannya yang sebagian besar terdapat dalam kitab Fashl al-Maqal yang berupa terjemahannya. Dalam membahas akal dan wahyu Ibn Rusyd menggunakan prinsip hubungan (ittisal) yang dalam argumen-argumerntasinya mencoba mencari hubungan antara agama dan falsafah. Argumen-argumentasinya adalah dengan menetukan kedudukan hukum belajar falsafah. Menurutnya belajar falsafah adalah belajar ilmu tentang tuhan, yaitu kegiatan filosofis yang mengkaji dan memikirkan segala sesuatu yang wujud (al-mawjudat), yang merupakan pertanda adanya pencipta, karena al-mawjudat adalah produk dari ciptaan. Dengan kata lain, apabila ilmu tentang al-mawjudat itu sudah sempurna maka sempurna juga ilmu kita tentang Tuhan. Maka dari itu untuk mendapatkannya maka belajar falsafah wajib dan diperintahkan oleh wahyu.[9] Adapun dalil Al-Qur’an yang menyatakannya adalah QS Al-Hasyr: 2, QS Al-A’raf: 185, QS Al-An’am: 75, QS Ali ‘Imran: 191 dan masih banyak lagi.[10]
Adapun Agar memperoleh kebenaran dari hasil pemikiran, Ibn Rusyd mensyaratkan kebenaran harus diperoleh melalui qiyas aqly. Ada empat jenis qiyas aqly yang disampaikan Ibn Rusyd yaitu qiyas khitabi (penalaran retoris), qiyas jadali (penalaran dialektika), qiyas mughalati (penalaran sofistik) dan qiyas burhani (penalaran demonstratif). Menurut Ibn Rusyd, cara yang terbaik untuk melakukanya adalah dengan metode penalaran demonstratif. Melalui penalaran demonstratifi ini, hal yang tidak nampak menjadi nampak. Karenanya, tidak akan menghasilkan pandangan yang bertentangan dengan ajaran syari’at, tetapi justru saling sesuai dan menjadi saksi satu sama lain. Tetapi jika keduanya bertentangan, berarti harus dicari suatu interpretasi (takwil) yang mungkin atas teks lahiriah tersebut. Oleh karena itu akal dan wahyu tidak akan melahirkan pertentangan dalam membahas persoalan yang menjadi otoritas keduanya.[11]



[1] Ahmad Fu`ad Al-Ahwany, 1963, A History of Muslim Philosophy, vol. I, (Wisbaden : Otto Harrossowitz), hal. 540.
[2] Muhammad Iqbal, 2004, Ibnu Rusyd dan Averroisme, (Jakarta: Gaya Media Pratama),  hal.  21-22.
[3] Mr. Abdullah Siddik, 1984, Islam dan Filsafat, (Jakarta : Triputra Masa), hal. 126-127.
[4] Ahmad Fu`ad Al-Ahwany, 1962, al-Falsafah  al-Islamiyyah, (Kairo : Maktaba al-Saqafiyyat),  hal. 100.
[5] Sudarsono, 2004, Filsafat Islam, (Jakarta : Rineka Cipta), hal. 96-97.
[6] Harun Nasution, 1974, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid.II, (Jakarta:Bulan Bintang), hal. 58.
[7] Harun Nasution, 1986, Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), hal. 44.
[8] Sudarsono, 2004, Op. cit, hal 97.
[9] Hamid fahmi Zarkasy, Akal dan wahyu dalam pandangan Ibn Rusyd dan Ibn Taymiyah
(Jurnal Study Islam, vol 9, No. 1, january 2007) , h. 20.
[10] Ibn Rusyd, Fashl al-Maqal (Mendamaikan Agama dan Filsafat), terj. Aksin Wijaya,
(Yogyakarta: Nuansa Aksara, 2005), Hal. 4.
[11] Ibid., hal. 13-14

Comments