A.
Pendahuluan
1.
Latar belakang
Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
pemerintah Indonesia membuat suatu kebijakan untuk daerah. Yaitu daerah tingkat
I dan daerah tingkat II diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
rumah tangganya sendiri, dengan tujuan mensejahterakan masyarakat. Kebijakan
ini dikenal dengan Otonomi Daerah. Terbentuknya Otonomi Daerah memiliki sejarah
yang sangat panjang mulai dari jaman kolonial sampai dengan sekarang. Dimulai
dari jaman kolonial yang memberi peluang untuk daerah dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai
keuangan sendiri. Pada jaman penjajahan Jepang semua daerah otonom disebukan
memiliki sifat bersifat misleading. Kemudian pada saat kemerdekaan dan pasca
kemerdekaan banyak sekali dikeluarkan undang-undang untuk mengatur otonomi daerah.
Pada era
ini Indonesia juga harus memikirkan hal yang strategis, terutama pemerintah
yang ada di pusat, dimana yang terjadi saat ini pemerintah pusat yang memiliki
urusan yang terlau banya sehingga tidak satupun yang terselesaikan dengan baik,
pusat mengurusa sampai pada urusan yang bersifat tekhnis yang ada di daerah.
Pemerintah seharusnya memikirkan yang strategis dan terfokus. Dengan hal
tersebut tujuan dapat tercapai.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan masalah adalah
bagaimana otonomi daerah dapat berjalan dengan lancar ?
3. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan
mendeskripsikan agar otonomi daerah dapat berjalan dengan lancar.
B. Pembahasan
1. Pengertian otonomi daerah
Otonomi dalam
makna sempit dapat diartikan sebagai mandiri. Sedangkan dalam makna yang lebih
luas diartikan sebagai “berdaya”. Jadi, otonomi daerah dapat diartikan sebagai kewajiban yang diberikan kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut
aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan
pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat. Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan
pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus
diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih
nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali
sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.[1]
2.
Sejarah Otonomi Daerah
Indonesia
dalam sejarahnya telah lama mengalami politik yang tersentralisasi. Ini
merupakan warisan dari struktur sentralisasi pemerintah dari zaman penjajahan
Belanda. Namun telah ada upaya pada berbagai waktu untuk mendesentralisasi
strukturnya, dimulai sejak disahkannya Undang-undang Desentralisasi 1903 di
Hindia-Belanda. Undang- undang ini bertujuan ganda yang dampaknya saling
bertentangan: untuk mendesentralisasi pemerintahan di daerah-daerah yang jauh
dan sangat beragam sifatnya, dan untuk mengembangkan kontrol pemerintah atas
wilayah-wilayah tersebut. Sejak kemerdekaan indonesia pada tahun 1945, para
elite di Jakarta sering merasa takut untuk memberikan kontrol lebih besar
kepada daerah untuk mengatur urusannya sendiri karena nantinya akan jatuh
ke tangan kekuatan yang merusak dan bersifat memecah belah. Kegagalan
upaya desentralisasi di masa lalu adalah kurangnya komitmen pusat terhadap
daerah.[2]
Berakhirnya
orde baru pada tahun 1998, terdapat sejumlah permasalahan terkait dengan sistem
ketatanegaraan dan tuntutan daerah-daerah terutama daerah yang selama ini telah
memberikan kontribusi yang besar dengan kekayaan alam yang dimilikinya seperti
Aceh agar diberikan otonomi daerah. Mereka mengancam apabila daerah-daerah
mereka tidak diberi otonomi yang lebih maka Indonesia akan menghadapi
disintegrasi. Wacana otonomi daerah kemudian bergulir sebagai alternatif
untuk menjawab permasalahan sosial dan ketatanegaraan Indonesia yang dianggap
perlu diganti. Inilah yang menjadi latar belakang otonomi daerah di Indonesia.[3]
Selain
itu ada dua faktor yang menyebabkan adanya tuntutan otonomi daerah, yaitu
faktor internal dan eksternal.
1)
Faktor
internal timbul sebagai tuntutan atas buruknya pelaksanaan sistem pemerintahan
yang sentralistik. Terdapat kesenjangan dan ketimpangan yang cukup besar antara
pembangunan yang terjadi di daerah dengan pembangunan yang dilaksanakan di
kota-kota besar, khususnya Ibukota Jakarta. Selain itu tuntutan adanya otonomi
daerah juga disebabkan oleh adanya eksploitasi besar-besaran terhadap Sumber
Daya Alam (SDA) di daerah yang kaya namun berbanding terbalik dengan
pembangunan di daerah tersebut.
2)
Faktor
eksternal yang menjadi latar belakang otonomi daerah di Indonesia. Faktor
eksternal yang menjadi salah satu pemicu lahirnya otonomi daerah di Indonesia
adalah adanya keinginan modal asing untuk menanamkan investasinya di Indonesia.[4]
Sampai
saat ini sudah sekitar enam kali dilakukan perubahan Undang-Undang tentang
pemerintahan daerah. Dua aspek penting perubahan yang secara substansial
menjadi warna berbagai undang-undnag tersebut adalah pengaturan mengenai
susunan pemerintahan daerah dan corak serta kadar desentralisasi dalam
pelaksanaan otonomi daerah.[5] Pada
1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui dua Undang-undang tentang
desentralisasi yaitu UU No. 22 yang menyangkut desentralisasi administrasi,
sementara UU No. 25 yang menyangkut administrasi keuangan. Perangkat pertama
dari aturan penerapan UU No. 22 telah dikeluarkan pada awal Mei 2000. Dua
undang-undang ini menandakan keseriusan baru atas upaya menjabarkan
desentralisasi demokratis oleh pemerintahan pusat. Hal ini untuk mewujudkan
pemerintahan daerah yang menganut asas desentralisasi dan bukan yang cenderung
sentral seperti pemerintahan sebelumnya.
3. Pelaksanaan Otonomi daerah
di Indonesia
Untuk
mengatur pemerintahan di Indonesia yang sangat luas ini tidak mungkin jika
hanya mengandalkan pemerintah pusat di Jakarta. Maka dari itu dibentuklah
pemerintah di daerah untuk mengatur pemerintahan di daerah sebagai wakil dari
pemerintah pusat di daerah. Selain itu pemerintah daerah memiliki kewenangan
atau otonomi untuk melaksanakan dan mengatur daerahnya sendiri. Dalam
pelaksanaan otonomi daerah, Indonesia menganut asas desentralisasi dimana
daerah diberi otonomi yang luas untuk mengatur daerahnya sendiri
Ada
beberapa alasan mengapa pemerintah perlu melaksanakan desentralisasi kekuasaan
kepada daerah. Alasan-alasan ini didasarkan pada kondisi ideal yang diinginkan,
sekaligus memberikan landasan filosofis bagi penyelenggaraan pemerintahan
daerah sesuai sistem pemerintahan yang dianut oleh negara. Mengenai alasan-alasan
ini, Joseph riwu kaho menyatakan sebagai
berikut :
1)
Dilihat
dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan (game teori), desentralisasi
dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang pada
akhirnya bisa menimbulkan tirani.
2)
Dalam
bidang politik, peneyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan
pendemokrasian untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih
diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi.
3)
Dari
sudut teknik organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan daerah
(desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang
efisien. Apa yang lebih utama untuk diurus oleh pemerintah setempat,
pengurusannya diserahkan kepada daerah.
4)
Dari
sudut kultural, desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat sepenuhnya
ditumpukan kepada kekhususan suatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk,
kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya.
5)
Dari
sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena
pemerintah daerah dapat lebih banyak membantu pembangunan.[6]
Sementara
itu dalam pelaksanaan otonomi daerah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, dimana didalamnya dipaparkan beberapa
asas-asas penyelenggaraan pemerintahan daerah yaitu :
1)
Umum
Berdasarkan
pasal 18 UUD 1945, pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan asas desentralisasi
dan dekonsentrasi, Undang-Undang ini juga memberikan dasar-dasar bagi
penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan di daerah menurut asas tugas
pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
a)
Prinsip
otonomi daerah
Prinsip
otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar hal yang
menjadi urusan pemerintahan yang ditetapkan.
b)
Pembagian
urusan pemerintahan
Dalam UU
Nomor 32 Tahun 2004 diatur mengenai pembagian urusan pemerintahan antara pusat
dan daerah. Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintah yang oleh Undang-Undang ditentukan
menjadi urusan pemerintah pusat. Sesuai isi Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun
2004, urusan pemerintah yang tidak menjadi urusan pemerintah daerah adalah politik
luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama.
Berarti
selain enam bidang tersebut menjadi urusan pemerintahan daerah dalam rangka
melaksanakan otonomi luas dan nyata.[7] Apabila
pemerintahan di daerah dapat melaksanakan fungsi dengan baik dan melaksanakan
urusan yang telah diatur dan menjadi kewenangannya dengan baik maka pemerataan
pembangunan dan kesejahteraan bisa terlaksana di Indonesia.
4. Dampak Penyelenggaraan
Otonomi Daerah
Penyelenggaraan
otonomi daerah di Indonesia tentu memberikan dampak positif seperti mendukung
proses demokratisasi di daerah-daerah, mengajak derah untuk lebih mandiri dan
bisa mengatur daerahnya, menghindari kekuasaan yang terlalu sentralistik dan
yang terpenting otonomi daerah mendukung pemerataan pembangunan dan
kesejahteraan di Indonesia.
Namun
dalam faktanya penyelenggaraan otonomi daerah tidak selalu memberi dampak
positif namun juga dampak negatif. Dampak-dampak negatif ini diantaranya yaitu:
1)
Pelaksanaannya
bertolak belakang dengan prinsip-prinsip pelaksanaan otonomi daerah di negara
kesatuan.
2)
Mengancam
keutuhan dan persatuan bangsa
3)
Bertentangan
dengan upaya pemberantasan KKN
4)
Memungkinkan
rusaknya lingkungan hidup.
Gejala-gejala
tersebut bukan merupakan kebijakan pemerintah daerah, namun bisa jadi ini
merupakan kehendak dari segelintir oknum pemerintahan, politisi lokal dan
sebagian warga masyarakat di daerah tertentu. Pemberian otonomi yang
seluas-luasnya malah menjadi ajang mencari untung bagi segelintir pejabat di
daerah, terutama di daerah tertentu yang memiliki SDA melimpah seperti
Kalimantan dan Papua. Dimana seperti yang diketaui kedua daerah tersebut
mempunyai SDA yang melimpah namun pembangunan sangat minim dan kerusakan
lingkungan terjadi sangat parah akibat dari keegoisan dari pejabat di daerah.
Ada beberapa gejala negatif yang timbul akibat otonomi daerah, yaitu :
a)
Berkembangnya
sentimen primordial
Di
beberapa daerah telah muncul semacam gerakan bersifat kesukuan yang mengarah
pada keinginan untuk mendominasi seluruh posisi strategis di masyarakat maupun
pemerintahan. Hal ini bisa dilihat seperti kejadian banyaknya pemekaran di
Sumatera Utara yang didasari pada pembagian etnis pada daerah tertentu atau
karena persaingan antar etnis tertentu. Kasus lain adalah adanya konflik
berdarah di Sampit antara suku madura dan suku dayak.
b)
Berkembangnya
proses KKN
Dengan
tidak diberlakukannya lagi ketentuan mengenai proses pengambilan keputusan yang
harus memperoleh persetujuan di Jakarta (tuntas di daerah), ada beberapa pihak
yang memanfaatkannya untuk melakukan KKN, seperti :
- Maraknya
issue kasus money politik dalam proses pemilihan kepala daerah. Penopang dana
pada kasus ini biasanya adalah para pelaku ekonomi yang kuat yang berharap
memperoleh fasilitas bisnis setelah jaginya menang.
- Proses
pengangkatan dan penempatan dalam jabatan struktural di daerah terkesan
didasarkan nepotisme ketimbang menggunakan asas meritokrasi.
c)
Konflik
antar daerah
Dengan
ditetapkannya status daerah otonom secara penuh kepada Kabupaten dan Kota, ada
kecenderungan masing-masing daerah untuk memproteksi seluruh potensinya secara
ketat untuk kepentingan masing-masing. Hal ini bisa menyebabkan kecemburuan
antar daerah akibat dari terjadinya ketimpangan sosial ekonomi. Dengan
ketentuan dana bagi hasil, daerah yang kaya akan SDA akan semakin kaya, dan
daerah yang miskin SDA akan semakin terpuruk.
d)
Eksploitasi
SDA secara berlebihan
Dengan
diberikannya keleluasaan kepada daerah untuk menggali dan memanfaatkan potensi
sumber daya alamnyayang tersedia di daerahnya, sementara beberapa daerah masih
menggunakan paradigma lama bahwa PAD adalah segala-galanya dan merupakan faktor
utama yang sangat menentukan dalam pelaksanaan otonomi daerah, mendorong daerah
untuk melakukan eksploitasi secara besar-besaran terhadap sumber daya alamnya.
Hal ini tentunya akan mengancam kelestarian lingkungan.[8]
Dampak-dampak
negatif ini tentu akan menyebabkan banyak kerugian bagi bangsa Indonesia,
selain secara materi juga secara moral dimana kesatuan dan persatuan bangsa
dipertaruhkan. Saat ini tentu rakyat menginginkan suatu pemerintahan yang bisa
mewakili aspirasi mereka dan melaksanakan amanat yang telah diberikan bukan
pemimpin yang hanya mementingkan kepentingannya sendiri dan golongannya tanpa
memperdulikan nasib rakyatnya. Maka otonomi daerah harus dievaluasi
penyelenggaraannya untuk meminimalisisr dampak-dampak negatif yang dihasilkan
untuk mewujudkan kesejahteraan untuk rakyat Indonesia. Apabila pelaksanaan otonomi
daerah di Indonesia sudah seperti yang diharapkan maka pemerataan pembangunan
dan kesejahteraan bukan hanya mimpi untuk Indonesia.
C. Kesimpulan
Otonomi dalam
makna sempit dapat diartikan sebagai mandiri. Sedangkan dalam makna yang lebih
luas diartikan sebagai “berdaya”. Jadi, otonomi daerah dapat diartikan sebagai kewajiban yang diberikan kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut
aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Namun
dalam faktanya penyelenggaraan otonomi daerah tidak selalu memberi dampak
positif namun juga dampak negatif. Dampak-dampak negatif ini diantaranya :
- Pelaksanaannya bertolak belakang dengan
prinsip-prinsip pelaksanaan otonomi daerah di negara kesatuan.
- Mengancam keutuhan dan persatuan bangsa
- Bertentangan dengan upaya pemberantasan
KKN
- Memungkinkan rusaknya lingkungan hidup.
Daftar Pustaka
Marbun. 2005. DPRD dan otonomi daerah. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan).
Ni’matul, Huda.
2005. Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika. (Jogjakarta:
Pustaka Pelajar).
www.academia.edu diunduh 31 Mei 2015.
Yudoyono,
Bambang. 2001. Otonomi daerah : desentralisasi dan
pengembangan SDM aparatur pemda dan anggota DPRD. (Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan).
[2] Huda
Ni’matul, 2005, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan dan
problematika, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar).
[3] Ibid,.
[4] Ibid,.
[5] Bambang
Yudoyono, 2001, Otonomi daerah : desentralisasi dan
pengembangan SDM aparatur pemda dan anggota DPRD, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan).
[6] Ibid,.
[8] Bambang
Yodoyono, 2001, Otonomi daerah : desentralisasi dan
pengembangan SDM aparatur pemda dan anggota DPRD, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan).
Comments
Post a Comment