Krisis Agama Asli

KRISIS AGAMA ASLI

1.      Sekelumit sejarah agama-agama di Indonesia
Agama asli sepanjang sejarah berulangkali mengalami krisis eksistensi. Dia terancam setiap kali di dampingi oleh agama-agama yang datang dari luar. Agama-agama itu tidak saja unggul dalam perlengkapan doktriner tetapi pula dalam bidang kenegaraan dan lambat-laun berfungsi sebagai ideologi negara di bawah kekuasaan sentral yang sakral. Penduduk yang tetap memeluk agama asli walaupun mayoritas tetap digolongkan sebagai out-group. Biarpun tidak ada diskriminasi resmi terhadap penganut agama asli, agama-agama kerajaan tidak berhasil mengubah paham asli dari rakyat banyak.
A.    Pemerintahan Kulawangsa Hindu dan Buddha
Semasa pemerintahan ini, pola hidup asli berlangsung terus. Pola asli itu, setelah bergeser dari tempat monopoli menjadi subkultur dan akhirnya merebut pusat kebudayaan lagi. Maka kehinduan menjadi subkultur, pada umumnya proses pemribumian agama Hindu berjalan tanpa konfrontasi doktrin.

B.     Zaman Buddha dan Islam
Zaman Buddha yang juga disebut zaman dewa, lalu disusul oleh zaman Islam yang memperlihatkan proses pemribumian yang sejajar setelah pembagian antara pesisir dan Mataram menjadi pudar. Gejala-gejala penafsiran kembali Islam menurut adat Islam itu banyak sekali, misalnya Serat Kalimasada (Kali: Durga, Mahasaudha: obat manjur) menjadi kalimat syahadat. Raja Brawijaya menerangkan bahwa agama Buddha dan Islam adalah identik, hanya upacaranya yang berlainan tetapi itu perkara kecil.
Tetapi adakalanya terdapat pertentangan tegas untuk mempertahankan agama tradisional melawan alienasi, seperti pembunuhan massal para alim ulama atas perintah Amangkurat I (1645) dan dalam gerakan Surapati (1700). Kaum Muslim saleh yang taat kepada segala peraturan syari’at menganggap/rendah terhadap mereka yang tak memperdulikannya, lalu menyebut mereka pasek atau abangan yang berarti merah yang dipertentangkan dengan putih (kaum rohaniawan).

2.      Puncak Krisis Agama Asli
Krisis agama asli memuncak pada zaman penjajahan. Agama asli menjadi kurban penjajahan dan diskriminasi. Orang-orangnya dimasukkan ke kategori ‘kafir’ sebagai barang sisa. Karena pemerintahan kolonial tidak berkontak dengan rakyat jelata yang mayoritasnya beragama asli, tetapi hanya kepada pengusaha-pengusaha feodal yang kurang lebih kehinduan atau keislaman. Maka dari itu, peraturan-peraturannya berpedoman pada agama minoritas lapisan atas.
Sampai pada tahun 1895, agama asli meskipun tidak mulus lagi tetap menjadi dominant religious pattern. Tanpa perbedaan mutu, dogma asli dan asing hidup berdampingan. Konfrontasi kaum santri dengan agama asli baru melai sejak terjadinya kontak dengan pusat Islam di Mekkah setelah Terusan Suez dibuka pada tahun 1869. Timbullah usaha-usaha untuk membersihkan tubuh Islam dari takhayul serta adat Kejawen, kehinduan dan pra-Islam.
Dalam zaman kemerdekaan proses pembagian Islam-asli makin meningkat dan berbagai faktor mempercepat pembagian tersebut. Dengan itu kualifikasi pemerintahan kolonial antara alain Snouck Hurgronje, bahwa Islam merupakan agama bangsa sedangkan agama asli hanya merupakan suatu residual element ditiadakan, kedua-duanya mempunyai hak yang sama. Karena itulah agama sli yang selama itu hanya berstatus penumpang gelap pada agama resmi dapat mengejar ketinggalan zamannya dan mengalami kebangkitan yang nampak dalam banyak publikasi serta berbagai upacara.

3.      Tantangan Agama Asli
Agama asli itu berlangsung selama berabad-abad lamanya karena itu tak pernah menghadapi tantangan yang memaksa perubahan. Subjek agama asli yakni masyarakat desa sebagai umat yang tetap relatif homogen dan seragam itu tidak menghadapi agama-agama negara sebagai alternatif. Mereka itu menanggapi serbuan-serbuan dari lingkungan feodal ke dalam desa sebagai sesuatu yang bersifat menghancurkan bagi kehidupan mereka.
A.    Tantangan Dari Ateisme
Dalam rasa damai semu mereka disergap oleh musuh yang lebih berbahaya bagi agama asli yakni fenomena ateisme. Dengan perubahan besar yang melanda masyarakat asli dari dunia luar dengan pertemuan serta pertentangan dengan gaya hidup yang lebih menarik, krisis datang, ketentraman desa terganggu dan orang-orang kehilangan pegangan aslinya. Jarak antara asli-tua dan modern tampak terlalu jauh sehingga tak dapat dijembatani. Muh.Ilyas menuduh hanya Komunisme dan Buddhisme sebagai faktor penyebab ateisme tanpa menghiraukan faktor endogen (dalam) yakni kelemahan iman ketuhanan dalam agama asli dan gejala-gejala dalam golongan hanya beragama secara statistik. Maka agama asli sedikit demi sedikit mulai diragukan. Terjadilah vakum keagamaan atau ateisme de facto yang menunggu diisi oleh ateisme ideologis.
Namun hal yang mendorong timbulnya ateisme itu sendiri akibat dari tiga hal yakni sebagai berikut.
1)      Pendidikan
Akal-budi yang makin diasah oleh ekspansi pendidikan yang menemukan dalam agama asli banyak keyakinan irasional yang tidak tahan uji terhadap hukum ilmu, lalu bersama dengan unsur yang baik yang tersimpul di dalamnya seluruh agama diabaikan. Keragu-raguan terhadap dalil-dalil iman asli menjadi pengingkaran mutlak karena jawab yang membebaskan disediakan oleh kufarat.

2)      Paham Gnosis
Paham gnosis yang mengidentifikasi ketuhanan dengan jiwa-alam, seperti dalam sebagian besar ‘ngelmu jawa’ dan klenik serta pada Raden Panji Natarata Sasrawijaya yang setelah mempelajari ajaran Syeh Siti Jenar mendirikan Sarekat Abangan yang berhaluan ateis di Jogja tahun 1920.

3)      Krisis akhlak
Pada umumnya lebih menggoncangkan iman daripada keberatan rasional. Perkosaan hati nurani menggelapkan pikiran yang kemudian dengan suka cita menyambut teori ateis sebagai alasan.

4)      Teknologi dan Ilmu Kesehatan
Peristiwa yang menurut paham takdir dahulu harus diterima secara pasif sebagai kehendak Tuhan, lalu ataeis hadir menyerupai protes rasional terhadap suatu iman yang tak menundukkan nilai dan kebutuhan insani dan merendahkan manusia menjadi budak alam yakni dengan hadirnya dokter dan insiyur yang memperoloki takhayul para dukun.




B.     Tantangan Dari Arus Sekularisasi
Menurut kepercayaan asli, seluruh alam merupakan kesatuan sakral kompak yang diketahui melalui sistem penggolongan dan tidak melalui analisa sebab-akibat. Sistem itu berkaitan erat dengan peraturan dan larangan. Pelanggaran membawa malapetaka, maka pengalaman bahwa pelanggaran berakibat jelek malahan mengakibatkan keberuntungan membuat manusia menjadi skeptis terhadap tradisi. Akhirnya, mendesak orang untuk meninggalkan agama asli.
Manusia modern hendak melenyapkan jarak antara kemakmuran mitologis dengan nasibnya yang jelek antara mitos pengayoman oleh penguasa dengan keadaan tanpa hak de facto. Jadi, upacara bersama latar belakangnya diabaikan saja. Terutama urbanisasi yang cepat yang bersifat menghancurkan bagi keyakinan kolektif tradisional.
Sekularisasi yang bebas dari ikatan bidang politik, ekonomi dan sosial dari perwalian agama dan memperkembangkannya secara otonom adalah satu-satunya jalan yang memungkinkan hidup baru pada agama otokhton. Sedangkan sistem agama asli adalah kebalikan dari hal yang dimaksudkan sekularisasi yakni menyediakan pedoman dan peraturan terperinci bagi seluruh pikiran dan kegiatan manusia.

4.      Dilema Agama Asli
Cita-cita manusia modern membuka kelemahan kepercayaan asli sehingga menimbulkan suatu dilema yakni keperluan memilih antara breakdown desa atau perubahan total.

Comments