A. Nama-nama
Al-Qur’an dan contohnya di dalam ayat Al-Qur’an
a. Al-Kitab (tertulis)
Dinamai Al-Kitab karena Al-Qur’an selain berfungsi sebagai bacaan juga ditulis dan dibukukan. Contohnya dalam surat Al-Baqarah : 2.
y7Ï9ºs Ü=»tGÅ6ø9$# w |=÷u ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`É)FßJù=Ïj9 ÇËÈ
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
b. Al-Furqan (Pembeda)
Dinamai Al-Furqan karena sesuai dengan kandungan Al-Qur’an yang memberi penegasan antara yang hak dan yang batil. Contohnya dalam surat Ali Imran : 3-4.
tA¨tR øn=tã |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 tû÷üt/ Ïm÷yt tAtRr&ur sp1uöqG9$# @ÅgUM}$#ur ÇÌÈ `ÏB ã@ö7s% Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 tAtRr&ur tb$s%öàÿø9$# 3 ¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. ÏM»t$t«Î/ «!$# óOßgs9 Ò>#xtã ÓÏx© 3 ª!$#ur ÖÍtã rè BQ$s)ÏFR$# ÇÍÈ
Dia menurunkan Al kitab (Al Quran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil. sebelum (Al Quran), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan Al Furqaan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai Balasan (siksa).
c. Adz-Dzikra (peringatan)
Dinamai seperti ini karena Al-Qur’an sendiri merupakan suatu peringatan kepada umat manusia agar menetapi kebenaran dan menjauhi keburukan. Contohnya dalam surat Al-Hijr : 9.
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
B. Definisi Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an
a. Definisi Al-Qur’an
Menurut bahasa Al-Qur’an adalah bentuk mashdar dari akar kata qara’a. Arti kata Al-Qur’an adalah sinonim dari qira’ah yaitu bacaan. Dapat juga diartikan “yang dibaca” yang merupakan bentuk mat’ul.
Menurut istilah yaitu kalam Allah Swt sebagai mukjizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Yang tertulis dalam mushaf, diriwayatkan dengan muatawatir dan membacanya adalah ibadah.
b. Definisi Ulumul Qur’an
Menurut bahasa, kata Ulumul Qur’an berasal dari terdiri dari dua kata, yaitu ulum dan Al-Qur’an. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata ‘ilmu yang berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnya.
C. Metode, Corak Tafsir dan tafsir Al-Fatihah dan Al-Falaq
No
|
Metode Tafsir
|
Contoh Kitab
|
Pengarang
|
Penjelasan
|
1
|
Tafsir bil Ma’tsur
|
Tafsir Ibnu Katsir
|
Ibnu Katsir
|
Tafsir ini menggunakan metode menjelaskan Al-Qur’an memakai bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Sehingga lebih mementingkan riwayat-riwayat yang otentik.
|
2
|
Tafsir Tahilli
|
Tafsir Al-Qur’an al-Karim
|
Mahmud Salthut
|
Tafsir ini menggunakan metode analisis dengan cara memaparkan segala aspek serta menerangkan makna yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkan sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat tersebut.
|
3
|
Tafsir Ash-Shabuni
|
Shafwat at-Tafsir
|
Ash-Shabuni
|
Dalam kitab tafsir ini Ash-Shabuni memadukan antara tafsir al-Ma’tsur (tektual) dengan al-Ma’qul (rasionalitas) kemudian dibahas dengan sangat rinci, ringkas kronologis dan sistematis sehingga menjadi jelas dan lugas.
|
4
|
Tafsir bil Ilmi wal Falsafi
|
Tafsir at-Tanthawi
|
Jauhar at-Tanthawi
|
Tafsir ini menggunakan metode pendekatan ilmiah dengan cara campuran ilmu biologi dan ilmu pengetahuan yang lainnya atau menggalinya berdasarkan ilmu pengetahuan yang ada.
|
5
|
Tafsir al-Maudhu’i
|
Membumikan Al-Qur’an
|
Quraish Shihab
|
Tafsir ini menggunakan metode tematik yaitu mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan pembahasan suatu judul/topik yang satu/sama.
|
6
|
Tafsir bil Lafdzi
|
Tafsir Jalalain
|
Jalaludin as-Sayuthi
|
Tafsir ini menggunakan metode analisis terhadap budaya dan problematika sosial dengan cara menitik beratkan pada keindahan susunan dalam Al-Qur’an dan memberikan solusi dari kajian tafsir tersebut.
|
2.Corak
tafsir
3. Tafsir al-Fatihah
No
|
Corak
Tasir
|
Penjelasan
|
1
|
Adabi wal
Ijtima’i
|
Menafsirkan
ayat-ayat kauniyah melalui pendekatan sastra dan budaya masyarakat
|
2
|
Adabi
Saqafiyah
|
Menafsirkan ayat-ayat kauniyah melalui pendekatan budaya masyarakat.
|
3
|
Adabi
Lughawiyah
|
Menafsirkan ayat-ayat kauniyah melalui pendekatan bahasa.
|
4
|
Adabi
al-Ma’tsur wal Ilmiah
|
Menafsirkan ayat-ayat kauniyah dengan bertolak dari proporsi
pokok-pokok bahasa, dari kapasitas keilmuan yang dimiliki, dan dari hasil
pengamatan langsung terhadap fenomena alam.
|
3. Tafsir al-Fatihah
No
|
Tema
|
Ayat Ke-
|
Memahami Tentang Ayat
|
1
|
Tauhid
|
1, 2 dan 3
|
Terdapat nama-nama tentang Allah
|
2
|
Janji dan Ancaman
|
4
|
Allah berjanji bahwa nanti akan datang hari kiamat
|
3
|
Ibadah
|
5
|
Kita disuruh agar menyembah dan meminta hanya kepada Allah Swt
|
4
|
Jalan Kebahagiaan
|
6
|
Jalan kebahagiaan yang dimaksud adalah jalan yang lurus.
|
5
|
Berita
|
7
|
Allah akan menunjukkan jalan yang lurus bagi orang-orang yang telah diberi nikmat
|
4.
Tafsir
al-Falaq
ö@è% èqããr& Éb>tÎ/ È,n=xÿø9$# ÇÊÈ `ÏB Îh° $tB t,n=y{ ÇËÈ `ÏBur Îh° @,Å%yñ #sÎ) |=s%ur ÇÌÈ `ÏBur Ìhx© ÏM»sV»¤ÿ¨Z9$# Îû Ïs)ãèø9$# ÇÍÈ `ÏBur Ìhx© >Å%tn #sÎ) y|¡ym ÇÎÈ
1. Katakanlah: "Aku berlindung kepada
Tuhan yang menguasai subuh,
2. dari kejahatan makhluk-Nya,
3. dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,
4. dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus
pada buhul-buhul[1609],
5. dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki."
ü Penafsiran berdasarkan tafsir al-Azhar
Katakanlah:
wahai Utusan-Ku. Aku berlindung dengan Tuhan dari cuaca Subuh.(ayat 1).
Tuhan
Allah adalah tempat berlindung. Nabi SAW dan kita semuanya diperintahkan
Tuhan agar berlindung dengan Allah. Setengah kekuasaan Allah itu ialah
bahwa Dia menciptakan dan membuat suasana cuaca Subuh. Dalam ayat ini
Al-Falaq yang tertulis di ujung ayat kita artikan cuaca Subuh, yaitu ketika
perpisahan di antara gelap malam dengan mulai terbit fajar hari akan siang.
Dengan hikmat tertinggi Tuhan mewahyukan kepada Rasul-Nya akan
kepentingan saat pergantian hari dari malam kepada siang itu.
Dari
kejahatan apa-apa yang telah Dia jadikan. (ayat 2).
Semua
makhluk ini Allahlah yang menciptakannya; baik langit dengan segala matahari,
bulan dan bintang gemintangnya, sampai kepada awan-awan berarak. Atau
bumi dengan segala isi penghuninya, lautnya dan daratnya, bukitnya dan
lurahnya. Semuanya adalah ciptaan Tuhan, sedang kita manusia ini hanyalah satu
makhluk kecilsaja yang terselat di dalamnya. Dan segala yang telah
dijadikan Allah itu bisa saja membahayakan bagi manusia, meskipun sepintas lalu
kelihatan tidak apa-apa. Misalnya adalah Hujan yang lebat bisa menjadi banjir
dan kita ditimpa celaka kejahatan banjir, hanyut dan tenggelam serta panas yang
terik bisa menjelma menjadi kebakaran besar, dan kita bisa saja turut hangus
terbakar.
“Dan
dari kejahatan malam apabila dia telah kelam.” (ayat
3).
Apabila
matahari telah terbenam dan malam telah datang menggantikan siang, bertambah
lama bertambah tersuruklah matahari itu ke sebalik bumi dan bertambah kelamlah
malam. Kelamnya malam merobah sama sekali suasana. Di rimba-rimba belukar
yang lebat, di padang-padang dan gurun pasir timbullah kesepian dan keseraman
mencekam. Maka dalam malam hari itu berbagai ragamlah bahaya dapat
terjadi. Binatang-binatang berbisa seperti ular, kala dan lipan,
keluarlah gentayangan di malam hari. Kita tidur dengan enak, siapa yang
memelihara kita dari bahaya tengah kita tidur itu kalau bukan Tuhan. Dan orang
pemaling pun keluar dalam malam hari, sedang orang enak tidur.
Kadang-kadang demikian enaknya tidur, sehingga segala barang-barang
berharga yang ada dalam rumah diangkat dan diangkut pencuri kita samasekali
tidak tahu. Setelah bangun pagi baru kita tercongong melihat barang-barang
yang penting, milik-milik kita yang berharga telah licin tandas dibawa maling.
Dalam kehidupan modern dalam kota yang besar-besar lebih dahsyat lagi bahaya
malam. Orang yang tenggelam dalam lautan hawa nafsu, yang tidak lagi menuntut
kesucian hidup, pada malam hari itulah dia keluar dari rumah ke tempat-tempat
maksiat. Sebab itu maka di segala zaman disuruhlah kita berlindung kepada Allah
sebagai Rabb dari bahaya kejahatan malam apabila dia telah kelam.
“Dan
dari kejahatan wanita-wanita peniup pada buhul-buhul.” (ayat
4).
Yang
dimaksud di sini ialah bahaya dan kejahatan mantra-mantra sang dukun.
Segala macam mantra atau sihir yang digunakan untuk mencelakakan orang
lain. Di dalam ayat 4 Surat Al-Falaq ini kita berlindung daripada kejahatan
wanita-wanita peniup pada buhul-buhul. Karena di zaman dahulu tukang
mantra yang memantrakan dan meniup-niupkan itu kebanyakan ialah perempuan!
Di Eropa pun tukang-tukang sihir yang dibenci itu diperlambangkan dengan
perempuan-perempuan tua yang telah ompong giginya dan mukanya seram menakutkan.
Di hadapannya terjerang sebuah periuk yang selalu dihidupkan api di
bawahnya dan isinya macam-macam ramuan.
Ada satu
perbuatan yang disebut TUJU! Dalam pemakaian kata secara umum, kata tuju
berarti titik akhir yang dituju dalam perjalanan. Yang boleh dikatakan
juga dalam bahasa Arab maqshud. Apa yang dituju, dengan apa yang dimaksud
adalah sama artinya. Tetapi di dalam Ilmu Sihir dan mantra dukun-dukun, TUJU
itu mempunyai arti yang lain. Yaitu menujukan ingatan, fikiran dan segala
kekuatan kepada orang tertentu, menujukan kekuatan batin terhadap orang itu,
dengan maksud jahat kepadanya, sehingga walaupun berjarak yang jauh sekali,
akan berbekas juga kepada diri orang itu. Dengan adanya ayat ini nyatalah bahwa
Al-Qur’an mengakui adanya hal-hal yang demikian. Jiwa manusia mempunyai
kekuatan batin tersendiri di luar dari kekuatan jasmaninya. Kekuatan yang
demikian bisa saja digunakan untuk maksud yang buruk. Di dalam bahasa
Minangkabau kata-kata TUJU itu terdapat sebagai bahagian dari sihir misalnya
adalah Ada TUJU gelang-gelang, yaitu dengan membulatkan ingatan jahat kepada
orang yang dituju, orang itu dapat saja sakit perut.
“Dan
dari kejahatan orang yang dengki apabila dia melakukan kedengkian.” (ayat
5).
Pada
hakikatnya dengki itu adalah satu penyakit yang menimpa jiwa orang yang dengki
itu. Dalam bahasa Baratnya dikatakan bahwa orang yang dengki itu adalah
abnormal, atau kurang beres jiwanya. Sakit hatinya melihat nikmat yang
dianugerahkan Allah kepada seseorang padahal dia sendiri tidaklah dirugikan
oleh pemberian Allah itu.
D. Sistematika, Metode, Pendekatan dan Corak Tafsir
1. Sistematika penyajian tafsir
a. Secara runtut
Penyajiannya seperti ini mengacu pada hal sebagai berikut.
1) Urutan surat yang ada dalam mushaf
Literatur tafsir secara umum mengacu pada urutan suratnya. Dalam hal ini literatur tafsir disusun utuh 30 juz. Ada dua karya yang termasuk pada model ini yaitu: tafsir al-Bayan dan tafsir al-Azhar.
2) Urutan turunnya wahyu
Dalam model ini hanya dipakai oleh satu karya tafsir yaitu: tafsir sinar karya H. Abdul Malik Ahmad yang disusun berdasarkan turunnya al-Qur’an. Ada 11 surat yang dikaji. Penyajiannya dimulai dengan menampilkan keseluruhan ayat dari satu surat yang dikaji serta terjemahnya. Lalu mengutip berbagai sumber, dijelaskan asbabun nuzulnya, kaitannya dengan surat-surat lain serta berbagai komentar ulama tentang surat tersebut.
b. Secara tematik
Penyajiannya dilakukan dengan suatu bentuk rangkaian penulisan karya tafsir yang struktur paparannya diacukan pada tema tertentu atau pada ayat, surat dan juz tertentu dari tema-tema inilah mufasir menggali visi al-Qur’an tentang tema yang sudah ditentukan itu. Dalam model ini biasanya mufasir mengumpulkan seluruh kata kunci yang ada dalam al-Qur’an yang dipandang terkait dengan tema tersebut. Sehingga tema yang dikaji tersebut pembahasannya spesifik dan mengerucut.
2. Metode Tafsir
a. Tafsir Riwayat
Merupakan suatu proses penafsiran al-Qur’an yang menggunakan data riwayat dari nabi saw. dan atau sahabat. Metode ini dapat ditemukan dalam tafsir at-Tabari.
b. Metode Tafsir Pemikiran
Dalam metode ini yang dibangun adalah aspek teoritis penafsiran bahwa memahami teks al-Qur’an sejatinya tidak lepas dari kesadaran pengetahuan ilmiah untuk meletakkan strukturnya sebagai bahasa yang mempunyai struktur historis dengan wacana-wacana yang dipakai dan audiensnya adalah budaya masyarakat.
c. Metode Interteks
Dalam proses penafsiran berbagai karya tafsir hampir tidak bisa melepaskan kaitan dengan karya tafsir lain yang lebih dulu. Proses ini dapat diambil melalui dua bentuk. Pertama, teks-teks lain yang ada di dalam teks tersebut diposisikan sebagai anutan sehingga fungsinya sebagai penguat. Kedua, teks-teks di dalam teks tersebut diposisikan sebagai pembanding atau bahkan sebagai objek kritik untuk memberikan suatu pembacaan baru yang menurutnya sesuai dengan dasar dan prinsip epistemologis yang bisa dipertanggungjawabkan.
3. Corak Tafsir
a. Nuansa Kebahasaan yakni nuansa tafsir yang mengartikulasikan maksud dari ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan analisis kebahasaan.
b. Nuansa Sosial-Kemasyrakatan (al-Adabi wal Ijtima’i) yakni nuansa tafsir yang menggunakan sudut pandang sosial-kemasyarakatn yaitu dengan interaksi wahyu dengan kehidupan masyrakat.
c. Teologis yakni nuansa tafsir yang menggunakan sudut pandang keyakinan ketuhanan di dalam Islam.
d. Sufistik yakni nuansa tafsir yang menggunakan isyarat-isyarat tersirat para sufi baik yang bermazhab nazori ataupun amali.
4. Pendekatan tafsir
a. Pendekatan Tekstual
Dalam hal ini praktik tafsir lebih beorientasi pada teks al-Qur’an. Jadi dalam pendekatan ini cenderung bersifat keakraban karena teks al-Qur’an turun pada masyarakat Arab. Ini artinya masyarakat Arab sebagai audiensnya.
b. Pendekatan Kontekstual
Dalam hal ini latar belakang sosial historis dimana teks muncul dan diproduksi menjadi variabel penting. Namun semua itu harus ditarik kedalam kontek pembaca dimana ia hidup dan berada dengan pemgalaman budaya, sejarah dan sosialnya sendiri. Oleh karena itu sifat gerakannya adalah dari bawah ke atas (dari konteks ke teks).
F. Tafsir al-Mujadalah: 11
1. Q.S al-Mujadalah: 11 dan terjemahannya
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) @Ï% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿt ª!$# öNä3s9 ( #sÎ)ur @Ï% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùöt ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz ÇÊÊÈ
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
2. Asbabun Nuzul Q.S al-Mujadalah: 11
Asbabun Nuzul QS. Al-Mujadalah ayat 11 ini, diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dari Muqatil bin Hibban, ia mengatakan bahwa pada suatu hari yaitu hari Jum’at, Rasulullah Saw berada di Shuffah mengadakan pertemuan di suatu tempat yang sempit, dengan maksud menghormati pahlawan perang Badar yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar. Beberapa pahlawan perang Badar ini terlambat datang, diantaranya Tsabit bin Qais, sehingga mereka berdiri di luar ruangan. Mereka mengucapkan salam “Assalamu’alaikum Ayyuhan Nabi Wabarakatuh”, lalu Nabi menjawabnya. Mereka pun mengucapkan sama kepada orang-orang yang terlebih dahulu datang, dan dijawab pula oleh mereka. Para pahlawan Badar itu tetap berdiri, menunggu tempat yang disediakan bagi mereka tetapi tak ada yang memperdulikannya. Melihat keadaan tersebut, Rasulullah menjadi kecewa lalu menyuruh kepada orang-orang di sekitarnya untuk berdiri. Diantara mereka ada yang berdiri tetapi rasa keengganan nampak di wajah mereka. Maka orang-orang munafik memberikan reaksi dengan maksud mencela Nabi, sambil mengatakan “Demi Allah, Muhammad tidak adil, ada orang yang lebih dahulu datang dengan maksud memperoleh tempat duduk di dekatnya, tetapi disuruh berdiri untuk diberikan kepada orang yang terlambat datang”. Lalu turunlah ayat ini.
3. Berdasarkan asbabun nuzul diatas menurut pemahaman saya adalah Rasul sangat menghargai orang yang berilmu maka dari itu Beliau menyuruh para sahabat untuk berdiri untuk memberikan tempat kepada orang tersebut walaupun datangnya terlambat.
G. Contoh tafsir bil Falsafi dan bil Ma'tsur
1) tafsir bil Falsafi
a. Ayat tentang planet adalah malaikat (Q.S al- Haqqah: 17)
à7n=yJø9$#ur #n?tã $ygͬ!%y`ör& 4 ã@ÏJøtsur z¸ótã y7În/u öNßgs%öqsù 7Í´tBöqt ×puÏZ»oÿsS ÇÊÐÈ
dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. dan pada hari itu delapan orang Malaikat menjunjung 'Arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka.
ü Penafsirannya
Menurut Ibnu Sina, ‘arsy diartikan sebagai planet ke sembilan yang merupakan mahaplanet, sementara delapan malaikat yang menyangganya adalah delapan planet yang bermarkas di bawahnya.
b. Wujudul Wajib (Q.S Al-Hadid: 3)
uqèd ãA¨rF{$# ãÅzFy$#ur ãÎg»©à9$#ur ß`ÏÛ$t7ø9$#ur ( uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« îLìÎ=tæ ÇÌÈ
Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.
ü Penafsiran
Menurut al-Farabi, dia menafsirkan ayat tersebut berdasarkan filsafat Plato tentang keqadiman alam. Ia mengatakan bahwa wujud pertama ada dengan sendirinya, setiap wujud (hal/ada) yang lain berasal dari wujud yang pertama. Alam itu awal (qadim) karena kejadiannya paling dekat dengan yang pertama. Sedangkan tafsir tentang Dia merupakan wujud yang terakhir karena ialah segala sesuatu yang diteliti, sebab-sebabnya akan berakhir kepada-Nya. Dialah wujud terakhir karena Dia tujuan akhir yang hakiki dalam setiap proses.
c. Segala sesuatu berasal dari air (Q.S al-Anbiya: 30)
óOs9urr& tt tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. ¨br& ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tFtR%2 $Z)ø?u $yJßg»oYø)tFxÿsù ( $oYù=yèy_ur z`ÏB Ïä!$yJø9$# ¨@ä. >äóÓx« @cÓyr ( xsùr& tbqãZÏB÷sã ÇÌÉÈ
dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?
ü Penafsiran
Menurut Ibnu Rusyd, bumi dan langit pada mulanya berasal dari unsur yang sama,kemudian di pecah dari benda yang berlainan. Dengan demikian, sebelum adanya bumi dan langit telah ada benda lain yang dalam ayat ini adalah air dan dalam ayat lain adalah uap. Uap dan air berdekatan selanjutnya bumi dan langit dijadikan dari uap/air bukan dari unsur yang tiada.
d. Surga dan Neraka (Q.S Al-Baqarah: 167)
tA$s%ur tûïÏ%©!$# (#qãèt7¨?$# öqs9 cr& $oYs9 Zo§x. r&§t6oKoYsù öNåk÷]ÏB $yJx. (#râä§t7s? $¨ZÏB 3 y7Ï9ºxx. ÞOÎgÌã ª!$# öNßgn=»yJôãr& BNºuy£ym öNÍkön=tæ ( $tBur Nèd tûüÅ_Ì»yÎ/ z`ÏB Í$¨Y9$# ÇÊÏÐÈ
dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: "Seandainya Kami dapat kembali (ke dunia), pasti Kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami." Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.
ü Penafsiran
Menurut Thabathaba’i, siksaan di Neraka tidak akan kekal/akan terputus karena Tuhan maha pengasih sangat luas sekali sehingga bagaimana Tuhan yang maha pengasih itu akan menyiksa hambanya selamanya dan tidak akan pernah berhenti menyiksanya. Alasan lainnya adalah balas dendam terhadap perbuatan orang yang aniaya hanyalah perbuatan dzalim. Sedangkan Tuhan tidak akan pernah mendzalimi hambanya dengan balas dendam maka siksaan mereka di nereka tidak akan kekal.
2. Contoh tafsir bil ma’tsur
a. (Q.S an-Nahl: 90)
* ¨bÎ) ©!$# ããBù't ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGÎ)ur Ï 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìx6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏèt öNà6¯=yès9 crã©.xs? ÇÒÉÈ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Q.S An-Nahl: 90).
b. Adil
1) Ayat tentang keadilan
y7Ï9ºxx.ur öNä3»oYù=yèy_ Zp¨Bé& $VÜyur (#qçRqà6tGÏj9 uä!#ypkà n?tã Ĩ$¨Y9$# tbqä3tur ãAqߧ9$# öNä3øn=tæ #YÎgx© 3 $tBur $oYù=yèy_ s's#ö7É)ø9$# ÓÉL©9$# |MZä. !$pkön=tæ wÎ) zNn=÷èuZÏ9 `tB ßìÎ6®Kt tAqߧ9$# `£JÏB Ü=Î=s)Zt 4n?tã Ïmøt7É)tã 4 bÎ)ur ôMtR%x. ¸ouÎ7s3s9 wÎ) n?tã tûïÏ%©!$# yyd ª!$# 3 $tBur tb%x. ª!$# yìÅÒãÏ9 öNä3oY»yJÎ) 4 cÎ) ©!$# Ĩ$¨Y9$$Î/ Ô$râäts9 ÒOÏm§ ÇÊÍÌÈ
dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia (Q.S al-Baqarah: 143)
2) Hadits tentang keadilan
Dari Abdullah bin Umar ra “ Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil akan berada diatas punggung yang terbuat dari cahaya disebelah kanan Allah azza wa jalla dan kedua sisinya dalam keadaan baik, yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, dalam keluarga dan dalam melaksanakan tugas yang diberikan kepada mereka” (HR. Muslim).
c. Ihsan
1) Ayat tentang Ihsan
ö@yd âä!#ty_ Ç`»|¡ômM}$# wÎ) ß`»|¡ômM}$# ÇÏÉÈ
tidak ada Balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula) (Q.S ar-Rahman: 60).
2) Hadits tentang Ihsan
Dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus ra, dari Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah telah menetapkan perbuatan baik (ihsan) atas segala sesuatu. Jika kalian membunuh maka berlakulah baik dalam hal tersebut. Jika kalianmenyembelih berlakulah baik dalam hal itu; hendaklah kalian mengasah pisaunya danmenyenangkan hewan sembelihannya. (HR. Muslim)
d. Sedekah
1) Ayat tentang sedekah
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& `ÏB ÏM»t6ÍhsÛ $tB óOçFö;|¡2 !$£JÏBur $oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚöF{$# ( wur (#qßJ£Jus? y]Î7yø9$# çm÷ZÏB tbqà)ÏÿYè? NçGó¡s9ur ÏmÉÏ{$t«Î/ HwÎ) br& (#qàÒÏJøóè? ÏmÏù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ;ÓÍ_xî îÏJym ÇËÏÐÈ
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji (Q.S Al-Baqarah: 267).
2) Hadits tentang sedekah
Apabila anak Adam wafat putuslah amalnya kecuali tiga hal yaitu sodaqoh jariyah, pengajaran dan penyebaran ilmu yang dimanfaatkannya untuk orang lain, dan anak (baik laki-laki maupun perempuan) yang mendoakannya. (HR. Muslim)
e. Amar makruf nahi munkar
1) Ayat tentang Amar makruf nahi munkar
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôt n<Î) Îösø:$# tbrããBù'tur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (Q.S Ali Imran: 104)
2) Hadits tentang Amar makruf nahi munkar
Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata: Saya mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman (H.R Muslim).
H. berkaitan dengan Al-Qur'an
Sebab
utama keadaan al-qur’an pada masa nabi belum disatukan menjadi satu buku
utuh di masa Nabi, disebabkan wahyu belum terputus. Dan belum merasa perlu
dibukukan menginggat wahyu belum seluruhnya turun. Namun ketika wafat, otomatis
wahyu telah sempurna diturunkan dan Nabipun telah memberi arahan sebelumnya
dari mulai penempatan surat-surat atau ayat-ayat. Maka keharusan mengumpulkan
wahyu dalam satu buku harus segera dilakukan agar umat berikutnya, yang tidak
menyaksikan wahyu terhindar dari kekeliruan.
Sebab
lainnya yaitu terjadinya perang Yamamah (11 H) yang banyak merenggut nyawa para
Qari ini menjadi sebab pula keharusan pembentukan komisi pengumpul Al-Qur’an
secepat mungkin. Karena pembukuan A-Qur’an ini harus didasarkan pada hafalan
dan naskah-naskah (manuskrip) di beberapa catatan sahabat. Umar bin Khatab ra
ketika itu sangat kuatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar ra.
dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an karena
dikhawatirkan akan musnah, sebab peperangan Yamamah telah banyak membunuh para
qari’. Setelah berdiskusi panjang antara Abu Bakar dan Umar bin Khatab,
akhirnya Abu Bakar menerima pandangan Umar. Dan setuju untuk membetuk tim
penyusunan Al-Qur’an dan memilih Zain bin Tsabit sebagai kepala tim.
2.
a. Pengertian Mushaf Utsmany
adalah rasm (bentuk ragam tulis) yang telah diakui dan diwarisi
oleh umat islam sejak masa Utsman. Dan pemeliharaan pemeliharaan rasm Utsmani
merupakan jaminan kuat bagi penjagaan Al-Qur’an dari prubahan dan pergantian
huruf-hurufnya. Rasmul Al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman adalah tata
cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khialifah bin Affan.
b. Cara Utsman memushafkan al-Qur’an
Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk irak,
diantara orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu ialah Huzaifah bin Al-yaman.
Ia melihat banyak perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur’an. Sebagian bacaan
itu bercampur dengan kesalahan, tetapi masing-masing mempertahankan dan
berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaanya
dan bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan demikian Huzaifah
segera menghadap Utsman dan melaporkan kepadanya apa yang telah dilihatnya.
Utsman juga memberitahukan kepada Huzaifah bahwa sebagian perbedaan itupun akan
terjadi pada orang-orang yang mengajarkan Qira’at kepada anak-anak. Anak-anak
itu akan tumbuh sedang diantara mereka terdapat perbedaan Qira’at. Para sahabat
amat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau perbedaan itu akan
menimbulkan penyimpangan dan perubahan. Mereka bersepakat untuk menyalin
lembaran-lembaran pertamayang ada pada abu bakar dan menyatukan umat islam pada
lembaran-lembaran itu dengan bacaan yang tetap dengan satu huruf.
Utsman kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah (untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya) dan hafsah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu kepadanya. Kemudian Utsman memanggil Zaid bin Sabit al-Ansari, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin hisyam, ketiga orang terakhir ini adalah suku Quraisy, lalu memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, serta memerintahkan pula agarapa yang diperselisihkan Ziad dengan ketiga orang Quraisy itu ditulis dalam bahasa Quraisy, karena Al-Qur’an turun dengan logat mereka.
Dari Anas: “bahwa Huzaifah bin Al-Yaman datang kepada Utsman dan pernah ikut berperang melawan penduduk syam. Huzaifah amat terkejut oleh perbedaan mereka dalam bacaaan. Lalu ia berkata kepada Utsman: “selamatkanlah umat ini sebelum mereka terlbatdalam perselisihan (dalam masalah kitab) sebagaimana perselisihan orang-orang yahudi dan nasrani. Utsman pu berkata kepada ketiga orang Quraisy (Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin hisyam) itu: “Bila kamu berselisih pendapat denga Zaid bin Sabit tentang sesuatu dari Qur’an. Maka tulislah dengan logat Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy”. Mereka melaksanakan perintah itu. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Utsman mengembalikan lemabaran-lembaran asli itu kepada Hafsah. Selanjutnya Utsman mengirimkan kesetiap wilayah mushaf baru tersebut dan memerintahkan agar semua Al-Qur’an dibakar.
Utsman kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah (untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya) dan hafsah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu kepadanya. Kemudian Utsman memanggil Zaid bin Sabit al-Ansari, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin hisyam, ketiga orang terakhir ini adalah suku Quraisy, lalu memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, serta memerintahkan pula agarapa yang diperselisihkan Ziad dengan ketiga orang Quraisy itu ditulis dalam bahasa Quraisy, karena Al-Qur’an turun dengan logat mereka.
Dari Anas: “bahwa Huzaifah bin Al-Yaman datang kepada Utsman dan pernah ikut berperang melawan penduduk syam. Huzaifah amat terkejut oleh perbedaan mereka dalam bacaaan. Lalu ia berkata kepada Utsman: “selamatkanlah umat ini sebelum mereka terlbatdalam perselisihan (dalam masalah kitab) sebagaimana perselisihan orang-orang yahudi dan nasrani. Utsman pu berkata kepada ketiga orang Quraisy (Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin hisyam) itu: “Bila kamu berselisih pendapat denga Zaid bin Sabit tentang sesuatu dari Qur’an. Maka tulislah dengan logat Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy”. Mereka melaksanakan perintah itu. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Utsman mengembalikan lemabaran-lembaran asli itu kepada Hafsah. Selanjutnya Utsman mengirimkan kesetiap wilayah mushaf baru tersebut dan memerintahkan agar semua Al-Qur’an dibakar.
Keterangan ini menunjukan bahwa apa yang dilakukan Utsman itu telah
disepakati oleh para sahabat. Mushaf-mushaf itu ditulis dengan satu huruf
(dialek) dari tujuh huruf Al-qur’an seperti yang diturunkan agar orang bersatu
dalam satu Qira’at. Dan Utsman telah mengembalikan lembaran-lembaran yang asli
kepada Hafsah, lalu dikirimkannya pula kesetiap wilayah masing-masing satu
mushaf, dan ditahannya satu mushaf untuk dimedinah, yaitu mushafnya sendiri
yang kemudian dikenl dengan nama “Mushaf Imam”.
Penamaan mushaf imam itu sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat terdahulu dimana ia mengatakan : “Bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, dan tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf Al-Qur’an pedoman). Kemudian ia memerintahkan membakar semua bentuk lebaran atau mushaf yang selain itu. Umat pun menerima perintah itu dengan patuh, sedangkan qira’at degan enam huruf lainnya ditinggalkan . keputusan ini tidak salah sebab Qira’at dengan tujuh huruf itu semua, tentu setiap huruf harus disampaikan secara mutawattir sehingga menjadi hujjah. Tetapi mereka tidak melakukannya. Ini menunjukan bahwa Qira’at dengan tujuh huruf itu termasuk dalam kategori keringanan. Dan bahwa yang wajib ialah menyampaikan sebagai dari ketujuh huruf tersebut secara mutawattir.
Penamaan mushaf imam itu sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat terdahulu dimana ia mengatakan : “Bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, dan tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf Al-Qur’an pedoman). Kemudian ia memerintahkan membakar semua bentuk lebaran atau mushaf yang selain itu. Umat pun menerima perintah itu dengan patuh, sedangkan qira’at degan enam huruf lainnya ditinggalkan . keputusan ini tidak salah sebab Qira’at dengan tujuh huruf itu semua, tentu setiap huruf harus disampaikan secara mutawattir sehingga menjadi hujjah. Tetapi mereka tidak melakukannya. Ini menunjukan bahwa Qira’at dengan tujuh huruf itu termasuk dalam kategori keringanan. Dan bahwa yang wajib ialah menyampaikan sebagai dari ketujuh huruf tersebut secara mutawattir.
Comments
Post a Comment