Ayat-Ayat Kontekstual Tentang Iman, Islam dan Ihsan

Ayat-Ayat Kontekstual Tentang Iman, Islam dan Ihsan

A.    Pembahasan
1.      Pendekatan tafsir
Adapun untuk memahami apa itu ayat kontekstual maka diperlukan adanya pendekatan tafsir. Pendekatan tafsir di sini dimaknai sebagai titik pijak keberangkatan dari proses tafsir. Itu sebabnya, pendekatan tafsir yang sama bisa saja melahirkan corak tafsir yang berbeda-beda. Pendekatan tafsir ada dua yaitu sebagai berikut.[1]
a.       Pendekatan tekstual
Dalam pendekatan tekstual, praktik tafsir lebih berorientasi pada teks dalam al-Qur’an. Jadi pengertian kontekstualitas dalam pendekatan tekstual cenderung bersifat keakraban. Dengan demikian, suatu tafsir yang menggunakan pendekatan ini biasanya analisisnya cenderung bergerak dari teks ke konteks, Sehingga pengalaman sejarah dan budaya dimana seorang penafsir dengan audiensnya berada tidak menempati posisi yang signifikan bahkan tidak mempunyai peran sama sekali.[2] Contohnya adalah tafsir al-Qur’an:djoez ke satoe dan tafsir al-bayan.

b.      Pendekatan kontekstual
Pendekatan ini merupakan pendekatan yang berorientasi pada konteks pembaca (penafsir) teks al-Qur’an. Dalam pendekatan ini kontekstualitas merupakan latar belakang sosial-historis dimana teks muncul dan diproduksi menjadi variabel penting. Namun semua itu harus ditarik ke dalam kontek penafsir dimana ia hidup dan berada dengan pengalaman budaya, sejarah dan sosialnya sendiri. Oleh karena itu, pergerakannya adalah dari konteks menuju teks.[3] Contohnya adalah tafsir al-Azhar karya HAMKA.

2.      Iman, Islam dan Ihsan
a.       Iman
Kata iman secara etimologis berasal dari bahasa Arab (الإيمان ) yang artinya yakin/percaya.Kata iman juga berasal dari kata kerja aamana (أمن) -- yukminu' (يؤمن) yang berarti percaya, Sedangkan menurut istilah pengertian iman adalah membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan tindakan (perbuatan).Iman bukan hanya percaya, melainkan keyakinan yang mendorong seorang muslim berbuat amal shaleh. Seseorang dinyatakan beriman bukan hanya percaya terhadap sesuatu, melainkan mendorongnya untuk mengucapkan dan melakukan sesuatu sesuai keyakinan. Jika Iman adalah suatu keadaan yang bersifat dinamis, maka sesekali didapati kelemahan iman. Jika iman lemah atau tidak kokoh maka seseorang akan mudah melakukan hal-hal yang yang tidak sesuai dengan aqidah islam seperti maksiat, mencuri, pecandu narkoba dan lain-lain. Semua hal tersebut tentunya banyak memiliki dampak negatif, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan. Seperti mencuri tentu saja sangat merugikan masyarakat dan tentunya merugikan diri sendiri. Begitu pula hal-hal yang lain.[4]

ü  Ayat al-Qur’an
tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sムÍ=øtóø9$$Î/ tbqãKÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÈ  
mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka (Q.S Al-Baqarah: 3)


ü  Pembahasan ayat
Tiga syarat pengakuan iman yaitu:
Pertama, Percaya pada yang ghaib. Yang ghaib ialah yang tidak dapat disaksikan oleh panca indera, tidak nampak oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, yaitu dua indera yang utama dari kelima (panca) indera kita. Tetapi dia dapat dirasa adanya oleh akal.

Kedua ialah orang-orang yang percaya bahwa di balik benda yang nampak ini, ada lagi hal-hal yang ghaib. Bertambah banyak pengalaman dalam arena penghidupan, bertambah mendalamlah kepercayaan mereka kepada yang ghaib itu. Contohnya adalah mengatakan iman kepada Allah, Malaikat, Hari Kemudian, Rasul yang tidak pernah dilihat dengan mata, maka bila panggilan sembahyang datang, bila azan telah terdengar, dia pun bangkit sekali buat mendirikan sembahyang. Karena hubungan di antara pengakuan hati dengan
mulut tidak mungkin putus dengan perbuatan. Maka jika waktu sembahnyang telah datang dan kita tak peduli tandanya iman belum ada, tandanya tidak ada kepatuhan dan ketaan dan itu diujikan kepada kita lima kali sehari semalam. Sebab: “iman adalah kata dan perbuatan, lantaran itu dia bisa bertambah dan bisa kurang.” Dan sembahyang itu bukan semata dikerjakan. Di dalam al-Qur'an atau di dalam hadits tidak pernah tersebut suruhan mengerjakan sembahyang, melainkan mendirikan sembahyang.

وَ الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ
“Dan orang-orang yang percaya kepada apa yang diturunkan kepada engkau” (pangkal ayat 4).
Niscaya baru sempurna iman itu kalau percaya kepada apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s. a.w sebagai iman dan ikutan. Percaya kepada Allah dengan sendirinya pastilah menimbulkan percaya kepada peraturan-peraturan yang diturunkan kepada Utusan Allah, lantaran itu percaya kepada Muhammad saw. itu sendiri, percaya kepada wahyu dan percaya kepada contoh-contoh yang beliau bawakan dengan sunahnya, baik kata-katanya, atau perbuatannya ataupun perbuatan orang lain yang tidak dicelanya. Dengan demikianlah baru iman yang telah tumbuh tadi terpimpin dengan baik.[5]

b.      Islam
Kata Islam secara etimologis berasal dari kata aslama-yuslimu-islaman artinya tunduk, patuh dan menyerahkan diri. Kata Islam berasal dari akar kata salama yang terbentuk dalam kata salmun artinya selamat, sejahtera tidak cacat dan tidak tercela.[6] Sedangkan secara terminologi Islam adalah agama Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai utusanya yang terakhir yang mengemban misi keselamatan dunia akhirat, kesejahteraan dan kemakmuran lahir dan batin bagi seluruh umat manusia dengan cara menunjukkan kepatuhan ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan, dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.[7]

ü  Ayat al-Qur’an
¨bÎ) šúïÏe$!$# yYÏã «!$# ÞO»n=óM}$# 3 $tBur y#n=tF÷z$# šúïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# žwÎ) .`ÏB Ï÷èt/ $tB ãNèduä!%y` ÞOù=Ïèø9$# $Jøót/ óOßgoY÷t/ 3 `tBur öàÿõ3tƒ ÏM»tƒ$t«Î/ «!$#  cÎ*sù ©!$# ßìƒÎŽ|  É>$|¡Ïtø:$# ÇÊÒÈ  
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya (Q.S Ali Imran: 19).

ü  Pembahasan Ayat
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ الْإِسْلامُ ِ
"Sesungguhnya yang agama di sisi Allah ialah Islam." (pangkal ayat 19).
Kata ad-din ialah biasa kita artikan ke dalam bahasa kita dengan agama. Ada juga menyebut agama dan ada juga menyebut igama. Sedang arti ad-din itu menurut asli Arabnya ialah taat tunduk dan juga balasan. Sebab itu maka yaumud-din, berarti hari pembalasan. Maka di dalam ta'rif syariat segala perintah yang dipikulkan oleh syara' kepada hamba yang telah baligh tapi berakal (mukallaf), itulah agama dia. Kadang-kadang disebut juga dengan kata lain, yaitu mullah, yang berarti agama juga. Dengan memakai kata millah atau millat, maka cakupan ad-din itu menjadi meluas lagi, mencakup sekalian peraturan hidup, bukan saja ibadat, bahkan juga mengatur negara. Itu sebabnya maka di Iran,Turki dan Paki­stan kata-kata millah itu dipakai juga untuk kenegaraan. almarhum Liaquat Ali Khan, Perdana Menteri Pakistan yang syahid terbunuh diberi mereka gelar quaidi millah (pemimpin negara) sebagai Ali jinnah diberi gelar quardi azam (pemimpin agung).

Kata Islam adalah mashdar, asal kata. Kalau telah menjadi fi'il madhi (perbuatan), dia menjadi aslama. Artinya dalambahasa kita ialah menyerah diri. Pokok asal sekali ialah hubungan tiga huruf s-l-m yang artinya selamat sejahtera. Menjadi juga menyerah, damai dan bersih dari segala sesuatu. Kalau disebut dalam bahasa Arab salaman li rojulin, artinya ialah sesuatu kepunyaan seorang iaki-laki yang tidak berserikat dengan yang lain. Maka setelah memahami arti dari kata ad-din dan al-Islam sebagai yang diutarakan di atas, dapatlah difahamkan maksud ayat ini: "sesungguhnya yang agama di sisi Allah ialah Islam." Atau lebih dapat ditegaskan bahwa yang benar-benar agama pada sisi Allah hanyalah semata menyerahkan diri kepadaNya saja. Kalau bukan begitu, bukanlah agama. Oleh karena itu, maka sekalian agama yang diajarkan Nabi­-nabi yang dahulu, sejak Adam lalu kepada Muhammad, termasuk Musa dan Isa , tidak lain daripada Islam. Beliau-beliau mengajak manusia supaya Islam; menyerah diri dengan tulus-ikhlas kepada Tuhan, percaya kepadaNya, kepadaNya saja. Itulah Islam , dan sekalian manusia yang telah sampai menyerah diri kepada Allah yang tunggal , tidak bersekutu yang lain dengan Dia, walaupun dia memeluk agama apa , dengan sendirinya dia telah mencapai Is­lam.
Syari'at nabi-nabi bisa berubah karena perubahan zaman dan tempat , namun hakikat agama yang mereka bawa hanya satu : Is­lam . Sebab maksud agama adalah dua perkara: Pertama, membersihkan jiwa dan akal dari kepercayaan akan kekuatan ghaib yang mcngatur alam ini , yaitu percaya hanya kepada Allah dan berbakti , memuja dan beribadat kepadaNya . Kedua, membersihkan hati dan membersihkan tujuan dalam segala gerak­-gerik dan usaha serta niat ikhlas kepada Allah. Itulah yang dimaksud dengan kata-kara Islam.

Lantaran itu dapat ditegaskan pula, walaupun dia mengakui orang Islam, keturunan Islam, ibu-bapa Islam, tinggal dalam negeri Islam, kalau akal dan hatinya tidak bersih dari pengaruh lain, selain Allah, maka tidaklah sesuai nama yang dipakainya dengan hakikat yang sebenarnya. Sama saja dengan orang bergelar "Datuk Raja di Langit", padahal di bumipun dia tidak jadi raja. Dia mengaku Islam, tetapi tempatnya mcnyerahkan dirinya ialah gurunya; dia taqlid saja kepada guru itu. Dia tidak memakai perlindungannya sendiri. Atau dia mengaku Islam, tetapi kuburan yang dikatakannya keramat lebih diramaikannya daripada mesjid tempat mcnyembah Allah. Dia lebih banyak meminta dan memohon kepada yang mcngisi kubur itu, atau mereka itu dijadikan perantara buat mcnyampaikan permohonannya kepada Allah. Orang semacam ini semuanya mungkin telah termasuk golongan Islam di dalam perhitungan (statistik) dan dalam geografi (ilmu bumi), tetapi belum tentu bahwa jiwanya sendiri adalah Muslim, yang menyerah bulat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
وَ مَا اخْتَلَفَ الَّذينَ أُوتُوا الْكِتابَ إِلاَّ مِنْ بَعْدِ ما جاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ
"Tetapi tidaklah berselisih orang-orang yang diberi kitab itu melainkan sesudah didatangkan kepada mereka ilmu , lantaran pelanggaran batas di antara mereka."
Dengan sambungan ayat ini kita dapat memahamkan bahwasanya masing-masing manusia dengan akal murni dan ilmunya sendiri bisa mencapai dasar percaya kepada keesaan Tuhan, bisa sampai kepada suasana penyerahan diri kepada Allah Yang Maha Kuasa dengan sendirinya. Sehingga kelak apabila dicocokkannya hasil penyerahan diri (Islam) dengan wahyu, tidak akan berapa selisihnya lagi.

Tetapi timbul kesulitan bukan pada mereka, melainkan pada orang-orang yang keturunan kitab, yang Yahudi dan Nasrani, sesudah mereka mendapat ilmu , ialah karena agama sudah diikat dengar ketentuan-ketentuan pendeta. Sehingga bukan lagi agama Allah, melainkan agama pendeta. Misalnya fikiran murni manusia telah mencapai kesimpulan bahwa Allah itu memang pasti Esa tetapi pendeta memutuskan bahwa itu tidak benar ! Yang benar ialah mesti diakui bahwa Allah itu beranak , atau bahwa Nabi Isa bukan saja anak Allah, tetapi diapun Allah atau satu dari tiga oknum. Banyak dari ahli-ahli fikir Eropa yang dari lanjumya berfikir sampailah dia kepada pengakuan akan adanya Allah. Terkenallah kaum Rasionalis atau Deis, diantaranya Voltaire pujangga Perancis yang terkenal, telah sampai kepada kesimpulan bahwa Tuhan Allah itu memang ada. Tetapi mereka dikucilkan dari gereja, dipandang tidak beragama lagi, sebab kependetaan tidak mengakui kesimpulan fikir-an mereka.

وَ مَنْ يَكْفُرْ بِآياتِ اللهِ
"Dan barangsiapa yang kufur terhadap ayat-ayat Allah."

Yaitu tidak menerima ketentuan-ketentuan dari Allah bahwasanya hakikat agama hanyalah satu, yaitu menyerahkan diri kepada Allah Yang Maha Esa , dan persatuan manusia di dalam pokok kepercayaan , dan memandang bahwa tujuan segala Rasul Allah hanyalah satu, yaitu membawa manusia dari gelap-gulita syrik kepada sinar Tauhid,
فَإِنَّ اللهَ سَريعُ الْحِساب
"maka sesungguhnya Allah adalah amat cepat perhitunganNya." (ujung ayat 19).

Pada tafsir dari ayat 212 Surat Al-Baqarah telah diterangkan apa artinya Tuhan cepat sekali mengambil tindakan. Yaitu bahwa apabila langkah telah salah dari permulaan, akibatnya akan segera terasa. Kadang-kadang dari sebab yang kelihatan kecil saja, mengakibatkan kehancuran yang besar dalam sekejap waktu. Seumpama satu pancuran air di lereng gunung tersumbat oleh sehelai daun cempedak. Tiba-tiba pada malam hari turun hujan lebat; airpun limbah keluar dari kolamnya, melalui dan meruntuhkan pematang-pematang sawah. Kerugian sangat besar. Setelah hari siang baru diketahui bahwa sebabnya hanya dari sehelai daun cempedak menyumbat pancuran yang tidak diperhatikan pada mulanya. Atau seperti seorang perempuan yang lalai, tidak dipadamkannya sisa api puntung di dapur seketika dia akan tidur.

Tiba-tiba tengah malam dia tersentak karena terasa panas. Dia terbangun karena rumahnya telah diselubungi api. Dia tidak dapat membela diri lagi. Api menjalar dari rumahnya ke rumah tetangga kiri-kanan, dalam beberapa jam saja habislah kampung itu seluruhnya, menjadi tumpukan bara dan abu. tersebab dari puntung yang tidak dipadamkan ketika akan tidur. Inilah salah satu dari maksud ayat bahwa Tuhan cepat sekali perhitungannya.[8]


c.       Ihsan
ihsān (إحسان ) adalah isim masdar dari kata أحسن يحسن yang bermakna “menjadikan sesuatu lebih baik/berbuat kebaikan” dan pada sisi lain terkadang pula bermakna surga, sebagaimana pemahaman dari QS. Al-Rahmān (55) : 60.
Ihsan secara terminologi berarti kesadaran yang sedalam-dalamnya bahwa Alloh senantiasa hadir atau bersama manusia dimanapun berada. Bertalian dengan ini, dan karena menginsafi bahwa Allah selalu mengawasi manusia, maka manusia harus berbuat, berlaku, bertindak menjalankan sesuatu dengan sebaik mungkin dan penuh rasa tanggung jawab, tidak setengah-setengah dan tidak dengan sikap sekadarnya saja.[9]
ü  Ayat Al-Qur’an.
øŒÎ)ur $tRõs{r& t,»sVÏB ûÓÍ_t/ Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î) Ÿw tbrßç7÷ès? žwÎ) ©!$# Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $ZR$|¡ômÎ) ÏŒur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ6»|¡uKø9$#ur (#qä9qè%ur Ĩ$¨Y=Ï9 $YZó¡ãm (#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qŸ2¨9$# §NèO óOçFøŠ©9uqs? žwÎ) WxŠÎ=s% öNà6ZÏiB OçFRr&ur šcqàÊ̍÷èB ÇÑÌÈ  
dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling (Q.S Al-Baqarah: 83)
ü  Pembahasan ayat
وَ إِذْ أَخَذْنَا مِيْثَاقَ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ لاَ تَعْبُدُوْنَ إِلاَّ اللهَ
“dan( ingatlah) tatkala Kami membuat janji dengan Bani Israil, supaya jangan mereka menyembah melainkan kepada Allah.” (pangkal ayat 83).
Inilah pokok pertama janji, dipusatkan kepada Tauhid, yang sampai sekarang masih terpancang dengan teguhnya dalam yang dinamai Hukum Sepuluh di dalam Taurat.

وَ بِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً
“dan terhadap kedua ibu-bapak hendaklah berbuat baik.”
Inilah janji yang kedua; yakni sesudah menyembah Allah hendaklah berkhidmat, berbuat baik kepada kedua ibu-bapak. Karena dengan rahmat dan karunia Allah , kedua ibu-bapak telah menumpahkan kasih kepada anak, mendidik dan mengasuh. Terutama di waktu belum dewasa, tidaklah sanggup si anak menempuh hidup dalam dunia ini kalau tidaklah kasih sayang dianugerahkan Allah kepada ayah dan bunda.


وَ ذِي الْقُرْبَى
“dan juga kepada kaum kerabat.” (pangkal tengah ayat)
Yaitu saudara, paman, saudara ayah dan saudara ibu, nenek laki-laki dan nenek perernpuan, pendeknya semua yang bertali darah. Di bawah perlindungan Allah, seorang anak telah hidup dalam asuhan ibu-bapak, di dalam rumah tangga yang berbahagia. Dan rumah tangga itu bertali-tali dengan keluarga yang lain, sehingga timbullah kekeluargaan besar, yang berupa suku, kabilah dan kaum. Maka tidaklah bisa seorang hidup sendiri dan hidup hanya dengan ibu-bapak atau dengan anak dan istri saja. Semua ada pertaliannya. itulah yang membentuk masyarakat besar, berupa negeri dan negara. Maka memelihara hubungan yang baik dengan keluarga itupun menjadi salah satu janji penting Bani lsrail dengan Tuhan.


وَ الْيَتَامَى وَ الْمَسَاكِيْن
“dan anak-anak yatim dan orang-orang miskin.”
Anak yatim yakni anak yang telah kematian ayah di waktu ia masih kecil, hendaklah pula di kasihi, diperlakukan dengan baik, diasuh dan di didik. Karena dengan kematian ayahnya, tidaklah sanggup ibunya saja mengasuhnya sendiri, apalagi bila ibu itu telah bersuami yang lain pula.
Seorang yang beragama hendaklah turut memikirkan anak yatim, turut memelihara dan mendidiknya. Kalau dia menerirna waris kekayaan besar dari ayahnya, maka tolonglah pelihara sehingga kekayaan pusakanya itu dapat dipergunakannya dengan baik setelah dia dewasa.
ApaIagi kalau dia miskin sudilah berkurban buat dia, orang miskinpun janganlah sampai dibiarkan melarat. Hendaklah yang kaya memikirkan nasibnya, menolongnya, usahakan dan carikan jalan supaya dia dapat berusaha pula melepaskan dirinya dari kemiskinan.


وَ قُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْناً
“dan hendaklah mengucapkan perkataan yang baik kepada sesama manusia.”
Maka selain daripada sikap baik kepada ibu-bapak, kaum keluarga, anak-yatim dan fakir miskin, bercakaplah yang baik kepada sesama manusia. Bercakap yang baik bukanlah berarti bermulut manis saja. Itulah sebagian dari yang baik. Tetapi yang baik adalah lebih sangat luas dari itu. Hendaklah menanam jasa kepada sesama manusia , memberi nasehat serta menyuruh berbuat baik, melarang berbuat munkar, menegur mana yang salah. Kalau sudah nampak perbuatan yang salah, jangan didiamkan saja, tetapi tegurlah dengan pantas. Yang berpengalaman hendaklah mengajar yang bodoh. Yang kurang ilmu hendaklah menuntut kepada yang pandai. Sehingga bersama-sama mencapai masyarakat yang lebih baik.[10]

B.     Kesimpulan
Pendekatan tafsir yang sama bisa saja melahirkan corak tafsir yang berbeda-beda. Pendekatan tafsir ada dua yaitu pertama, pendekatan tekstual yaitu praktik tafsir lebih berorientasi pada teks dalam al-Qur’an. Jadi pengertian kontekstualitas dalam pendekatan tekstual cenderung bersifat keakraban. Dengan demikian, suatu tafsir yang menggunakan pendekatan ini biasanya analisisnya cenderung bergerak dari teks ke konteks. Kedua, Pendekatan kontekstual merupakan pendekatan yang berorientasi pada konteks pembaca (penafsir) teks al-Qur’an. Dalam pendekatan ini kontekstualitas merupakan latar belakang sosial-historis dimana teks muncul dan diproduksi menjadi variabel penting. Namun semua itu harus ditarik ke dalam kontek penafsir dimana ia hidup dan berada dengan pengalaman budaya, sejarah dan sosialnya sendiri.
Adapun rukun agama Islam yaitu iman, Islam dan ihsan. Ketiga rukun ini haruslah berjalan secara seimbang agar kita bisa menjadi manusia yang berarti dan terciptanya kedamaian dalam hidup. iman secara etimologis berasal dari bahasa Arab (الإيمان ) yang artinya yakin/percaya.Kata iman juga berasal dari kata kerja aamana (أمن) -- yukminu' (يؤمن) yang berarti percaya. Kata Islam secara etimologis berasal dari kata aslama-yuslimu-islaman artinya tunduk, patuh dan menyerahkan diri. Kata Islam berasal dari akar kata salama yang terbentuk dalam kata salmun artinya selamat, sejahtera tidak cacat dan tidak tercela. ihsān (إحسان ) adalah isim masdar dari kata أحسن يحسن yang bermakna “menjadikan sesuatu lebih baik” dan pada sisi lain terkadang pula bermakna surga, sebagaimana pemahaman dari QS. Al-Rahmān (55) : 60.

Daftar Pustaka
Alim, Muhammad. 2006. Pendidikan Agama Islam. (Bandung: Rosda).
As, Asmaran. 2002. Pengantar Studi Akhlak . (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada).
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia.
HAMKA. 1983. Tafsir Al-Azhar Juz II. (Jakarta: Pustaka Panjimas).
HAMKA. 1983. Tafsir Al-Azhar Juz III. (Jakarta: Pustaka Panjimas).
http://ahdabina.staff.umm.ac.id/archives/92. Diunduh pada tanggal 23 Mei 2015.
Nata, Abudin. 2011. Studi Islam Komprehensif. (Jakarta : Prenada Media Group).



[1] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, hal. 248-249.
[2] Ibid., hal 284.
[3] Ibid., hal 249.
[4] Asmaran As, 2002, Pengantar Studi Akhlak , (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada).
[5] HAMKA, 1983, Tafsir Al-Azhar Juz II, (Jakarta: Pustaka Panjimas).
[6] http://ahdabina.staff.umm.ac.id/archives/92.
[7] Abudin Nata, 2011, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta : Prenada Media Group) hlm.22
[8] HAMKA, 1983, Tafsir Al-Azhar Juz III, (Jakarta: Pustaka Panjimas).
[9] Muhammad alim, 2006, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Rosda), hlm. 153
[10] Hamka. Tafsir Al-Azhar Juz II. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1983.

Comments