Ayat-Ayat Kontekstual Tentang Iman,
Islam dan Ihsan
A.
Pembahasan
1. Pendekatan tafsir
Adapun untuk memahami apa itu ayat
kontekstual maka diperlukan adanya pendekatan tafsir. Pendekatan tafsir di sini
dimaknai sebagai titik pijak keberangkatan dari proses tafsir. Itu sebabnya, pendekatan
tafsir yang sama bisa saja melahirkan corak tafsir yang berbeda-beda.
Pendekatan tafsir ada dua yaitu sebagai berikut.[1]
a. Pendekatan tekstual
Dalam pendekatan tekstual, praktik tafsir lebih berorientasi
pada teks dalam al-Qur’an. Jadi pengertian kontekstualitas dalam pendekatan
tekstual cenderung bersifat keakraban. Dengan demikian, suatu tafsir yang
menggunakan pendekatan ini biasanya analisisnya cenderung bergerak dari teks ke
konteks, Sehingga pengalaman sejarah dan budaya dimana seorang penafsir dengan
audiensnya berada tidak menempati posisi yang signifikan bahkan tidak mempunyai
peran sama sekali.[2]
Contohnya adalah tafsir al-Qur’an:djoez ke satoe dan tafsir al-bayan.
b. Pendekatan kontekstual
Pendekatan ini merupakan pendekatan yang berorientasi pada
konteks pembaca (penafsir) teks al-Qur’an. Dalam pendekatan ini kontekstualitas
merupakan latar belakang sosial-historis dimana teks muncul dan diproduksi
menjadi variabel penting. Namun semua itu harus ditarik ke dalam kontek
penafsir dimana ia hidup dan berada dengan pengalaman budaya, sejarah dan
sosialnya sendiri. Oleh karena itu, pergerakannya adalah dari konteks menuju
teks.[3]
Contohnya adalah tafsir al-Azhar karya HAMKA.
2. Iman, Islam dan Ihsan
a. Iman
Kata iman secara etimologis berasal dari bahasa Arab
(الإيمان
) yang artinya yakin/percaya.Kata iman juga berasal dari kata kerja aamana (أمن)
-- yukminu' (يؤمن) yang berarti
percaya, Sedangkan menurut istilah
pengertian iman adalah membenarkan
dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan tindakan (perbuatan).Iman
bukan hanya percaya, melainkan keyakinan yang mendorong seorang muslim berbuat
amal shaleh. Seseorang
dinyatakan beriman bukan hanya percaya terhadap sesuatu, melainkan mendorongnya
untuk mengucapkan dan melakukan sesuatu sesuai keyakinan. Jika Iman
adalah suatu keadaan yang bersifat dinamis, maka sesekali didapati kelemahan
iman. Jika iman lemah atau tidak kokoh maka seseorang akan mudah melakukan
hal-hal yang yang tidak sesuai dengan aqidah islam seperti maksiat, mencuri,
pecandu narkoba dan lain-lain. Semua hal tersebut tentunya banyak memiliki
dampak negatif, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan.
Seperti mencuri tentu saja sangat merugikan masyarakat dan tentunya merugikan
diri sendiri. Begitu pula hal-hal yang lain.[4]
ü
Ayat al-Qur’an
tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sã Í=øtóø9$$Î/ tbqãKÉ)ãur no4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã ÇÌÈ
mereka yang beriman kepada yang
ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami
anugerahkan kepada mereka (Q.S Al-Baqarah: 3)
ü Pembahasan
ayat
Tiga syarat pengakuan iman yaitu:
Pertama, Percaya pada yang ghaib.
Yang ghaib ialah yang tidak dapat disaksikan oleh panca indera, tidak nampak
oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, yaitu dua indera yang utama dari
kelima (panca) indera kita. Tetapi dia dapat dirasa adanya oleh akal.
Kedua ialah orang-orang yang percaya bahwa di balik benda yang nampak ini,
ada lagi hal-hal yang ghaib. Bertambah banyak pengalaman dalam arena
penghidupan, bertambah mendalamlah kepercayaan mereka kepada yang ghaib itu. Contohnya
adalah mengatakan iman kepada Allah, Malaikat, Hari Kemudian, Rasul yang tidak
pernah dilihat dengan mata, maka bila panggilan sembahyang datang, bila azan
telah terdengar, dia pun bangkit sekali buat mendirikan sembahyang. Karena
hubungan di antara pengakuan hati dengan
mulut tidak mungkin putus dengan perbuatan. Maka jika waktu sembahnyang telah datang dan kita tak peduli tandanya iman belum ada, tandanya tidak ada kepatuhan dan ketaan dan itu diujikan kepada kita lima kali sehari semalam. Sebab: “iman adalah kata dan perbuatan, lantaran itu dia bisa bertambah dan bisa kurang.” Dan sembahyang itu bukan semata dikerjakan. Di dalam al-Qur'an atau di dalam hadits tidak pernah tersebut suruhan mengerjakan sembahyang, melainkan mendirikan sembahyang.
mulut tidak mungkin putus dengan perbuatan. Maka jika waktu sembahnyang telah datang dan kita tak peduli tandanya iman belum ada, tandanya tidak ada kepatuhan dan ketaan dan itu diujikan kepada kita lima kali sehari semalam. Sebab: “iman adalah kata dan perbuatan, lantaran itu dia bisa bertambah dan bisa kurang.” Dan sembahyang itu bukan semata dikerjakan. Di dalam al-Qur'an atau di dalam hadits tidak pernah tersebut suruhan mengerjakan sembahyang, melainkan mendirikan sembahyang.
وَ الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ
“Dan orang-orang yang percaya kepada apa yang diturunkan kepada engkau” (pangkal ayat 4).
Niscaya baru sempurna iman itu kalau
percaya kepada apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s. a.w sebagai iman dan
ikutan. Percaya kepada Allah dengan sendirinya pastilah menimbulkan percaya
kepada peraturan-peraturan yang diturunkan kepada Utusan Allah, lantaran itu
percaya kepada Muhammad saw. itu sendiri, percaya kepada wahyu dan percaya
kepada contoh-contoh yang beliau bawakan dengan sunahnya, baik kata-katanya,
atau perbuatannya ataupun perbuatan orang lain yang tidak dicelanya. Dengan
demikianlah baru iman yang telah tumbuh tadi terpimpin dengan baik.[5]
b.
Islam
Kata Islam secara
etimologis berasal dari kata aslama-yuslimu-islaman artinya tunduk, patuh dan
menyerahkan diri. Kata Islam berasal dari akar kata salama yang terbentuk dalam
kata salmun artinya selamat, sejahtera tidak cacat dan tidak tercela.[6] Sedangkan secara terminologi Islam adalah agama Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai utusanya yang terakhir yang
mengemban misi keselamatan dunia akhirat, kesejahteraan dan kemakmuran lahir
dan batin bagi seluruh umat manusia dengan cara menunjukkan kepatuhan
ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan, dengan melaksanakan segala perintah-Nya
dan menjauhi larangan-Nya.[7]
ü
Ayat al-Qur’an
¨bÎ)
úïÏe$!$#
yYÏã
«!$# ÞO»n=óM}$#
3
$tBur
y#n=tF÷z$# úïÏ%©!$#
(#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$#
wÎ) .`ÏB Ï÷èt/ $tB
ãNèduä!%y` ÞOù=Ïèø9$# $Jøót/
óOßgoY÷t/ 3
`tBur
öàÿõ3t ÏM»t$t«Î/ «!$# cÎ*sù ©!$# ßìÎ|
É>$|¡Ïtø:$#
ÇÊÒÈ
Sesungguhnya
agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang
yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka,
karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap
ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya (Q.S Ali Imran: 19).
ü
Pembahasan Ayat
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ الْإِسْلامُ ِ
"Sesungguhnya yang agama di sisi Allah ialah Islam." (pangkal ayat 19).
"Sesungguhnya yang agama di sisi Allah ialah Islam." (pangkal ayat 19).
Kata ad-din ialah biasa kita artikan ke dalam bahasa kita
dengan agama. Ada juga menyebut agama dan ada juga menyebut igama. Sedang arti
ad-din itu menurut asli Arabnya ialah taat tunduk dan juga balasan. Sebab itu
maka yaumud-din, berarti hari pembalasan. Maka di dalam ta'rif syariat segala
perintah yang dipikulkan oleh syara' kepada hamba yang telah baligh tapi
berakal (mukallaf), itulah agama dia. Kadang-kadang disebut juga dengan kata
lain, yaitu mullah, yang berarti agama juga. Dengan memakai kata millah atau
millat, maka cakupan ad-din itu menjadi meluas lagi, mencakup sekalian
peraturan hidup, bukan saja ibadat, bahkan juga mengatur negara. Itu sebabnya
maka di Iran,Turki dan Pakistan kata-kata millah itu dipakai juga untuk
kenegaraan. almarhum Liaquat Ali Khan, Perdana Menteri Pakistan yang syahid
terbunuh diberi mereka gelar quaidi millah (pemimpin negara) sebagai Ali jinnah
diberi gelar quardi azam (pemimpin agung).
Kata Islam adalah mashdar, asal kata. Kalau telah menjadi
fi'il madhi (perbuatan), dia menjadi aslama. Artinya dalambahasa kita ialah
menyerah diri. Pokok asal sekali ialah hubungan tiga huruf s-l-m yang artinya
selamat sejahtera. Menjadi juga menyerah, damai dan bersih dari segala sesuatu.
Kalau disebut dalam bahasa Arab salaman li rojulin, artinya ialah sesuatu
kepunyaan seorang iaki-laki yang tidak berserikat dengan yang lain. Maka
setelah memahami arti dari kata ad-din dan al-Islam sebagai yang diutarakan di
atas, dapatlah difahamkan maksud ayat ini: "sesungguhnya yang agama di
sisi Allah ialah Islam." Atau lebih dapat ditegaskan bahwa yang
benar-benar agama pada sisi Allah hanyalah semata menyerahkan diri kepadaNya
saja. Kalau bukan begitu, bukanlah agama. Oleh karena itu, maka sekalian agama
yang diajarkan Nabi-nabi yang dahulu, sejak Adam lalu kepada Muhammad,
termasuk Musa dan Isa , tidak lain daripada Islam. Beliau-beliau mengajak
manusia supaya Islam; menyerah diri dengan tulus-ikhlas kepada Tuhan, percaya
kepadaNya, kepadaNya saja. Itulah Islam , dan sekalian manusia yang telah
sampai menyerah diri kepada Allah yang tunggal , tidak bersekutu yang lain
dengan Dia, walaupun dia memeluk agama apa , dengan sendirinya dia telah
mencapai Islam.
Syari'at nabi-nabi bisa berubah karena perubahan zaman dan
tempat , namun hakikat agama yang mereka bawa hanya satu : Islam . Sebab
maksud agama adalah dua perkara: Pertama, membersihkan jiwa dan akal dari
kepercayaan akan kekuatan ghaib yang mcngatur alam ini , yaitu percaya hanya
kepada Allah dan berbakti , memuja dan beribadat kepadaNya . Kedua,
membersihkan hati dan membersihkan tujuan dalam segala gerak-gerik dan usaha
serta niat ikhlas kepada Allah. Itulah yang dimaksud dengan kata-kara Islam.
Lantaran itu dapat ditegaskan pula, walaupun dia mengakui orang Islam, keturunan Islam, ibu-bapa Islam, tinggal dalam negeri Islam, kalau akal dan hatinya tidak bersih dari pengaruh lain, selain Allah, maka tidaklah sesuai nama yang dipakainya dengan hakikat yang sebenarnya. Sama saja dengan orang bergelar "Datuk Raja di Langit", padahal di bumipun dia tidak jadi raja. Dia mengaku Islam, tetapi tempatnya mcnyerahkan dirinya ialah gurunya; dia taqlid saja kepada guru itu. Dia tidak memakai perlindungannya sendiri. Atau dia mengaku Islam, tetapi kuburan yang dikatakannya keramat lebih diramaikannya daripada mesjid tempat mcnyembah Allah. Dia lebih banyak meminta dan memohon kepada yang mcngisi kubur itu, atau mereka itu dijadikan perantara buat mcnyampaikan permohonannya kepada Allah. Orang semacam ini semuanya mungkin telah termasuk golongan Islam di dalam perhitungan (statistik) dan dalam geografi (ilmu bumi), tetapi belum tentu bahwa jiwanya sendiri adalah Muslim, yang menyerah bulat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Lantaran itu dapat ditegaskan pula, walaupun dia mengakui orang Islam, keturunan Islam, ibu-bapa Islam, tinggal dalam negeri Islam, kalau akal dan hatinya tidak bersih dari pengaruh lain, selain Allah, maka tidaklah sesuai nama yang dipakainya dengan hakikat yang sebenarnya. Sama saja dengan orang bergelar "Datuk Raja di Langit", padahal di bumipun dia tidak jadi raja. Dia mengaku Islam, tetapi tempatnya mcnyerahkan dirinya ialah gurunya; dia taqlid saja kepada guru itu. Dia tidak memakai perlindungannya sendiri. Atau dia mengaku Islam, tetapi kuburan yang dikatakannya keramat lebih diramaikannya daripada mesjid tempat mcnyembah Allah. Dia lebih banyak meminta dan memohon kepada yang mcngisi kubur itu, atau mereka itu dijadikan perantara buat mcnyampaikan permohonannya kepada Allah. Orang semacam ini semuanya mungkin telah termasuk golongan Islam di dalam perhitungan (statistik) dan dalam geografi (ilmu bumi), tetapi belum tentu bahwa jiwanya sendiri adalah Muslim, yang menyerah bulat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
وَ
مَا اخْتَلَفَ الَّذينَ أُوتُوا الْكِتابَ إِلاَّ مِنْ بَعْدِ ما جاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ
"Tetapi tidaklah berselisih orang-orang yang diberi kitab itu melainkan sesudah didatangkan kepada mereka ilmu , lantaran pelanggaran batas di antara mereka."
"Tetapi tidaklah berselisih orang-orang yang diberi kitab itu melainkan sesudah didatangkan kepada mereka ilmu , lantaran pelanggaran batas di antara mereka."
Dengan sambungan ayat ini kita dapat memahamkan
bahwasanya masing-masing manusia dengan akal murni dan ilmunya sendiri bisa
mencapai dasar percaya kepada keesaan Tuhan, bisa sampai kepada suasana
penyerahan diri kepada Allah Yang Maha Kuasa dengan sendirinya. Sehingga kelak
apabila dicocokkannya hasil penyerahan diri (Islam) dengan wahyu, tidak akan berapa
selisihnya lagi.
Tetapi timbul kesulitan bukan pada mereka, melainkan
pada orang-orang yang keturunan kitab, yang Yahudi dan Nasrani, sesudah mereka
mendapat ilmu , ialah karena agama sudah diikat dengar ketentuan-ketentuan
pendeta. Sehingga bukan lagi agama Allah, melainkan agama pendeta. Misalnya
fikiran murni manusia telah mencapai kesimpulan bahwa Allah itu memang pasti
Esa tetapi pendeta memutuskan bahwa itu tidak benar ! Yang benar ialah mesti
diakui bahwa Allah itu beranak , atau bahwa Nabi Isa bukan saja anak Allah,
tetapi diapun Allah atau satu dari tiga oknum. Banyak dari ahli-ahli fikir
Eropa yang dari lanjumya berfikir sampailah dia kepada pengakuan akan adanya
Allah. Terkenallah kaum Rasionalis atau Deis, diantaranya Voltaire pujangga
Perancis yang terkenal, telah sampai kepada kesimpulan bahwa Tuhan Allah itu
memang ada. Tetapi mereka dikucilkan dari gereja, dipandang tidak beragama
lagi, sebab kependetaan tidak mengakui kesimpulan fikir-an mereka.
وَ مَنْ يَكْفُرْ بِآياتِ اللهِ
"Dan barangsiapa yang kufur terhadap ayat-ayat Allah."
"Dan barangsiapa yang kufur terhadap ayat-ayat Allah."
Yaitu tidak menerima ketentuan-ketentuan dari Allah
bahwasanya hakikat agama hanyalah satu, yaitu menyerahkan diri kepada Allah
Yang Maha Esa , dan persatuan manusia di dalam pokok kepercayaan , dan
memandang bahwa tujuan segala Rasul Allah hanyalah satu, yaitu membawa manusia
dari gelap-gulita syrik kepada sinar Tauhid,
فَإِنَّ
اللهَ سَريعُ الْحِساب
"maka sesungguhnya Allah adalah amat cepat perhitunganNya." (ujung ayat 19).
"maka sesungguhnya Allah adalah amat cepat perhitunganNya." (ujung ayat 19).
Pada tafsir dari ayat 212 Surat Al-Baqarah telah
diterangkan apa artinya Tuhan cepat sekali mengambil tindakan. Yaitu bahwa apabila
langkah telah salah dari permulaan, akibatnya akan segera terasa. Kadang-kadang
dari sebab yang kelihatan kecil saja, mengakibatkan kehancuran yang besar dalam
sekejap waktu. Seumpama satu pancuran air di lereng gunung tersumbat oleh
sehelai daun cempedak. Tiba-tiba pada malam hari turun hujan lebat; airpun
limbah keluar dari kolamnya, melalui dan meruntuhkan pematang-pematang sawah.
Kerugian sangat besar. Setelah hari siang baru diketahui bahwa sebabnya hanya
dari sehelai daun cempedak menyumbat pancuran yang tidak diperhatikan pada
mulanya. Atau seperti seorang perempuan yang lalai, tidak dipadamkannya sisa
api puntung di dapur seketika dia akan tidur.
Tiba-tiba tengah malam dia tersentak karena terasa
panas. Dia terbangun karena rumahnya telah diselubungi api. Dia tidak dapat
membela diri lagi. Api menjalar dari rumahnya ke rumah tetangga kiri-kanan,
dalam beberapa jam saja habislah kampung itu seluruhnya, menjadi tumpukan bara
dan abu. tersebab dari puntung yang tidak dipadamkan ketika akan tidur. Inilah
salah satu dari maksud ayat bahwa Tuhan cepat sekali perhitungannya.[8]
c.
Ihsan
ihsān (إحسان )
adalah isim masdar dari kata أحسن يحسن –
yang bermakna “menjadikan sesuatu lebih baik/berbuat kebaikan” dan pada
sisi lain terkadang pula bermakna surga, sebagaimana pemahaman dari QS.
Al-Rahmān (55) : 60.
Ihsan secara terminologi berarti kesadaran yang sedalam-dalamnya
bahwa Alloh senantiasa hadir atau bersama manusia dimanapun berada. Bertalian
dengan ini, dan karena menginsafi bahwa Allah selalu mengawasi manusia, maka
manusia harus berbuat, berlaku, bertindak menjalankan sesuatu dengan sebaik
mungkin dan penuh rasa tanggung jawab, tidak setengah-setengah dan tidak dengan
sikap sekadarnya saja.[9]
ü
Ayat Al-Qur’an.
øÎ)ur
$tRõs{r&
t,»sVÏB
ûÓÍ_t/
@ÏäÂuó Î)
w tbrßç7÷ès?
wÎ)
©!$#
Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur
$ZR$|¡ômÎ)
Ïur
4n1öà)ø9$#
4yJ»tGuø9$#ur
ÈûüÅ6»|¡uKø9$#ur
(#qä9qè%ur
Ĩ$¨Y=Ï9
$YZó¡ãm
(#qßJÏ%r&ur
no4qn=¢Á9$#
(#qè?#uäur
no4q2¨9$#
§NèO
óOçFø©9uqs?
wÎ)
WxÎ=s%
öNà6ZÏiB
OçFRr&ur
cqàÊÌ÷èB
ÇÑÌÈ
dan
(ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah
kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum
kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata
yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. kemudian
kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu
selalu berpaling (Q.S Al-Baqarah: 83)
ü Pembahasan
ayat
وَ إِذْ
أَخَذْنَا مِيْثَاقَ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ لاَ تَعْبُدُوْنَ إِلاَّ اللهَ
“dan( ingatlah) tatkala Kami membuat janji dengan Bani Israil, supaya jangan mereka menyembah melainkan kepada Allah.” (pangkal ayat 83).
“dan( ingatlah) tatkala Kami membuat janji dengan Bani Israil, supaya jangan mereka menyembah melainkan kepada Allah.” (pangkal ayat 83).
Inilah pokok pertama janji, dipusatkan kepada Tauhid, yang sampai sekarang
masih terpancang dengan teguhnya dalam yang dinamai Hukum Sepuluh di dalam
Taurat.
وَ
بِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً
“dan terhadap kedua ibu-bapak hendaklah berbuat baik.”
“dan terhadap kedua ibu-bapak hendaklah berbuat baik.”
Inilah janji yang kedua; yakni sesudah menyembah Allah hendaklah
berkhidmat, berbuat baik kepada kedua ibu-bapak. Karena dengan rahmat dan
karunia Allah , kedua ibu-bapak telah menumpahkan kasih kepada anak, mendidik
dan mengasuh. Terutama di waktu belum dewasa, tidaklah sanggup si anak menempuh
hidup dalam dunia ini kalau tidaklah kasih sayang dianugerahkan Allah kepada
ayah dan bunda.
وَ ذِي الْقُرْبَى
“dan juga kepada kaum kerabat.” (pangkal tengah ayat)
Yaitu saudara, paman, saudara ayah dan saudara ibu, nenek laki-laki dan
nenek perernpuan, pendeknya semua yang bertali darah. Di bawah perlindungan
Allah, seorang anak telah hidup dalam asuhan ibu-bapak, di dalam rumah tangga
yang berbahagia. Dan rumah tangga itu bertali-tali dengan keluarga yang lain,
sehingga timbullah kekeluargaan besar, yang berupa suku, kabilah dan kaum. Maka
tidaklah bisa seorang hidup sendiri dan hidup hanya dengan ibu-bapak atau
dengan anak dan istri saja. Semua ada pertaliannya. itulah yang membentuk
masyarakat besar, berupa negeri dan negara. Maka memelihara hubungan yang baik
dengan keluarga itupun menjadi salah satu janji penting Bani lsrail dengan
Tuhan.
وَ الْيَتَامَى وَ الْمَسَاكِيْن
“dan anak-anak yatim dan orang-orang miskin.”
Anak yatim yakni
anak yang telah kematian ayah di waktu ia masih kecil, hendaklah pula di
kasihi, diperlakukan dengan baik, diasuh dan di didik. Karena dengan kematian
ayahnya, tidaklah sanggup ibunya saja mengasuhnya sendiri, apalagi bila ibu itu
telah bersuami yang lain pula.
Seorang yang beragama hendaklah turut memikirkan anak yatim, turut memelihara dan mendidiknya. Kalau dia menerirna waris kekayaan besar dari ayahnya, maka tolonglah pelihara sehingga kekayaan pusakanya itu dapat dipergunakannya dengan baik setelah dia dewasa.
ApaIagi kalau dia miskin sudilah berkurban buat dia, orang miskinpun janganlah sampai dibiarkan melarat. Hendaklah yang kaya memikirkan nasibnya, menolongnya, usahakan dan carikan jalan supaya dia dapat berusaha pula melepaskan dirinya dari kemiskinan.
Seorang yang beragama hendaklah turut memikirkan anak yatim, turut memelihara dan mendidiknya. Kalau dia menerirna waris kekayaan besar dari ayahnya, maka tolonglah pelihara sehingga kekayaan pusakanya itu dapat dipergunakannya dengan baik setelah dia dewasa.
ApaIagi kalau dia miskin sudilah berkurban buat dia, orang miskinpun janganlah sampai dibiarkan melarat. Hendaklah yang kaya memikirkan nasibnya, menolongnya, usahakan dan carikan jalan supaya dia dapat berusaha pula melepaskan dirinya dari kemiskinan.
وَ قُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْناً
“dan hendaklah mengucapkan perkataan yang baik kepada sesama manusia.”
Maka selain daripada sikap baik
kepada ibu-bapak, kaum keluarga, anak-yatim dan fakir miskin, bercakaplah yang
baik kepada sesama manusia. Bercakap yang baik bukanlah berarti bermulut manis
saja. Itulah sebagian dari yang baik. Tetapi yang baik adalah lebih sangat luas
dari itu. Hendaklah menanam jasa kepada sesama manusia , memberi nasehat serta
menyuruh berbuat baik, melarang berbuat munkar, menegur mana yang salah. Kalau
sudah nampak perbuatan yang salah, jangan didiamkan saja, tetapi tegurlah
dengan pantas. Yang berpengalaman hendaklah mengajar yang bodoh. Yang kurang
ilmu hendaklah menuntut kepada yang pandai. Sehingga bersama-sama mencapai
masyarakat yang lebih baik.[10]
B. Kesimpulan
Pendekatan
tafsir yang sama bisa saja melahirkan corak tafsir yang berbeda-beda.
Pendekatan tafsir ada dua yaitu pertama, pendekatan tekstual
yaitu praktik tafsir lebih berorientasi
pada teks dalam al-Qur’an. Jadi pengertian kontekstualitas dalam pendekatan
tekstual cenderung bersifat keakraban. Dengan demikian, suatu tafsir yang
menggunakan pendekatan ini biasanya analisisnya cenderung bergerak dari teks ke
konteks.
Kedua, Pendekatan kontekstual merupakan
pendekatan yang berorientasi pada konteks pembaca (penafsir) teks al-Qur’an.
Dalam pendekatan ini kontekstualitas merupakan latar belakang sosial-historis
dimana teks muncul dan diproduksi menjadi variabel penting. Namun semua itu
harus ditarik ke dalam kontek penafsir dimana ia hidup dan berada dengan
pengalaman budaya, sejarah dan sosialnya sendiri.
Adapun
rukun agama Islam yaitu iman, Islam dan ihsan. Ketiga rukun ini haruslah
berjalan secara seimbang agar kita bisa menjadi manusia yang berarti dan
terciptanya kedamaian dalam hidup. iman secara etimologis
berasal dari bahasa Arab (الإيمان ) yang artinya yakin/percaya.Kata iman juga
berasal dari kata kerja aamana (أمن) -- yukminu' (يؤمن) yang berarti percaya. Kata Islam
secara etimologis berasal dari kata aslama-yuslimu-islaman artinya tunduk,
patuh dan menyerahkan diri. Kata Islam berasal dari akar kata salama yang
terbentuk dalam kata salmun artinya selamat, sejahtera tidak cacat dan tidak
tercela. ihsān (إحسان )
adalah isim masdar dari kata أحسن يحسن – yang bermakna
“menjadikan sesuatu lebih baik” dan pada sisi lain terkadang pula bermakna
surga, sebagaimana pemahaman dari QS. Al-Rahmān (55) : 60.
Daftar Pustaka
Alim,
Muhammad. 2006. Pendidikan Agama Islam.
(Bandung: Rosda).
As, Asmaran. 2002. Pengantar Studi Akhlak . (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada).
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia.
HAMKA. 1983. Tafsir Al-Azhar Juz II. (Jakarta:
Pustaka Panjimas).
HAMKA. 1983. Tafsir Al-Azhar Juz III. (Jakarta:
Pustaka Panjimas).
Nata, Abudin. 2011. Studi Islam Komprehensif. (Jakarta :
Prenada Media Group).
[1] Islah
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, hal. 248-249.
[2] Ibid.,
hal 284.
[3] Ibid.,
hal 249.
[5]
HAMKA, 1983, Tafsir Al-Azhar Juz II, (Jakarta: Pustaka Panjimas).
[7] Abudin Nata, 2011,
Studi Islam Komprehensif, (Jakarta :
Prenada Media Group) hlm.22
[8]
HAMKA, 1983, Tafsir Al-Azhar Juz III, (Jakarta: Pustaka Panjimas).
[9] Muhammad alim, 2006,
Pendidikan Agama Islam, (Bandung:
Rosda), hlm. 153
[10]
Hamka. Tafsir Al-Azhar Juz II. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1983.
Comments
Post a Comment