Sejarah, Ajaran Agama Shinto dan Persinggungannya

Agama Shinto
A.    Pembahasan
1.      Sejarah
Agama ini muncul pada zaman prasejarah dan tidak diketahui dengan pasti siapa pendirinya. Penyebarannya adalah di Asia dan yang terbanyak terdapat di Jepang. Tujuan utama agama ini adalah kebahagiaan dalam kehidupan di dunia.
Agama Shinto adalah agama resmi rakyat Jepang. Agama ini diproklamirkan sebagai agama negara pada tahun 1868 dan mempunyai kira-kira 10 aliran dengan penganut sekitar 21 juta jiwa. Kata Shinto berasal dari bahasa Tionghoa/Cina, Shen yang artinya roh dan Tao artinya jalan dunia, bumi dan langit. Jadi Shinto berarti perjalanan roh yang baik.[1]
Sejarah perkembangan agama Shinto di Jepang dapat dibagi dalam tiga tahapan yaitu:
a.       Masa perkembangan (660 SM-552 SM), yakni masa pengaruh mutlak sepenuhnya.
b.      Masa percampuran (552 M-800 M), yakni dalam masa ini agama Shinto memperoleh saingan berat dimana masuknya agama Buddha, Konghucu dan ajaran Tao. Pada tahun 645 M kaisar Kotoku merestui agama Buddha.
c.       Masa sinkronisasi (800 M-1700 M),  yakni masa dimana agama Shinto secara berangsur-angsur mengalami sinkronisasi dengan tiga agama tersebut yang pada akhirnya lahir Ryobu-Shinto. Yang dibangun oleh Kobo Daishi, Kitabake Chikafuza, Ichijo Kanoyoshi dan lainnya.[2]

Demikian pula dengan dewa-dewa yang mereka hormati juga banyak sekali kurang lebih sekitar 800 dewa. Yang terpenting adalah Amaterasu Omi Kami (dewa matahari) juga dewa pelindung dan pertanian. Mengenai pembuatan patung-patung dewa hampir tidak dikenal di Jepang kecuali seperti Uzuma (dewa bahagia), Inari (dewa padi) dan Ebisu (dewa nelayan). Meskipun terdapat patung-patung dewa namun mereka tidak pernah memujanya. Sebagai gantinya mereka memuja benda suci yang bernama Mitama Shiro (Shintai) yakni berupa cermin, pedang dan permata yang disimpan di kuil pemujaan. Pada barang pemberian dewa ini terletak persatuan antara rakyat, keluarga raja dan negara.[3]
Pemeluk agama Shinto selain mengagungkan para leluhur juga mengagungkan kaisar, karena kaisar pertama dipandang sebagai keturunan langsung Dewi Matahari serta dianggap juga kekal dan bersih dari segala macam kekurangan dan kecacatan.
Orang Jepang tidak menolak aliran-aliran apa saja yang datang ke sana, oleh karena itu agama Buddha dan lain-lain yang datang ke Jepang dapat berkembang dengan baik.[4] Dengan berakhirnya PD II sikap pemerintah Jepang berubah total selain mengakui kekalahan dalam perang juga bersikap netral dalam agama dan menjamin hak kemerdekaan agama sepenuhnya. Akhirnya pada bulan Desember 1945, dikeluarkan sebuah ketetapan pemerintah yang dikenal dengan pedoman Shinto yang tujuannya adalah membasmi semua bentuk paham militerisme dan ultra-nasionalisme, membakukan kemerdekaan agama serta memisahkan agama dan negara. Selanjutnya agama Shinto berdiri sendiri sebagai sebuah agama yang sama kedudukannya dengan agama-agama lain.[5]

2.      Pemikiran dan Keyakinan
a.       Ajaran tentang Kami
Agama ini mengandung dua unsur kepercayaan yakni menyembah alam dan roh nenek moyang. Menurut agama ini, seseorang diwajibkan menyembah kepada roh yang mereka sebut Kami yang berasal dari orang-orang yang telah meninggal dunia yakni Kami leluhur tiap-tiap suku biasanya dipunyai oleh anggota dari tiap-tiap suku tersebut, Kami para pahlawan dan Kami nenek moyang tiap keluarga sendiri biasanya dianggap sebagai pelindung keluarga. Tetapi ada pula yang berasal dari benda-benda alam yakni Kami dari matahari, bulan, petir, sungai, gunung, pohon dan sebagainya. Dari abad ke abad kekultusan kepada roh nenek moyang selalu berubah bentuknya tetapi sifat kultusnya masih tetap sama.[6]
Ajaran tentang Kami ini, pada umumnya dikenal sebagai Dinamisme dan dalam bahasa indonesianya disebut mana. Mana ini mempunyai lima sifat, yakni punya kekuatan, tak dapat dilihat dan mempunyai tempat yang tetap, tidak pasti baik atau buruk, serta dapat dikontrol dan juga tidak. Contohnya seperti tenaga yang terdapat dalam listrik. Kekuatannya tidak kelihatan namun efeknya terlihat dalam gerakan kapal di laut, mobil di darat dan mesin di pabrik. Dalam arti pendek, mana terdapat dimana-mana dan ada yang bersifat baik dan juga buruk. Mana yang terdapat dalam manusia memang dapat dikontrol dengan mudah namun mana yang terdapat dalam alam misalkan angin, matahari, arus sungai dan petir sulit untuk dikontrol. Maka dari itu dukun/ahli sihir/pendeta-lah yang dianggap mampu untuk mengontrol mana ini, untuk disucikan dengan ritual-ritual tertentu.[7]

b.      Ajaran tentang Manusia
Konsep tentang manusia merupakan garis kesinambungan antara Kami dan manusia. Kami diyakini bukan merupakan sesuatu yang mutlak dan transenden atas manusia. Kami dan manusia berada dalam suatu hubungan yang diistilahkan Oya-ku seperti halnya hubungan antara orang tua dan anak. Hal ini digambarkan dalam mitologi garis keturunan Kaisar Jepang yang diyakini sebagai keturunan Dewa Matahari. Jadi, manusia adalah putra Kami. Oleh karena itu, manusia adalah makhluk yang hidup di bawah perlindungan dewa dan ditakdirkan hidup bahagia.

c.       Ajaran tentang Dunia
Agama Shinto termasuk tipe agama “lahir satu kali” maksudnya memandang dunia ini sebagai satu-satunya tempat kehidupan bagi manusia. Dalam pemikirannya terdapat tiga jenis Dunia yakni pertama, Tamano-hara (tanah langit tinggi), sebuah dunia suci, rumah dan tempat tinggal para dewa langit (Amatsu-kami). Kedua, Yomino-kuni berarti dunia yang dibayangkan sebagai dunia yang gelap, kotor jelek, menyengsarakan dan tempat orang-orang yang sudah meninggal dunia. Ketiga, Tokoyono-kuni berarti kehidupan yang abadi, negeri yang jauh di seberang lautan atau kegelapan yang abadi. Maksudnya dunia yang dibayangkan penuh dengan kenikmatan dan kedamaian dianggap sebagai tempat tinggal arwah orang-orang yang meninggal dalam keadaan suci. Ketiga dunia ini sering disebut kakuriyo (dunia yang tersembunyi) dan dunia tempat tinggal manusia disebut ut-sushiyo (dunia yang terlihat).

d.      Ajaran tentang Etika
Menurut D.C Holten (ahli sejarah Jepang), menyatakan bahwa orang-orang Jepang dilahirkan dalam ajaran Shinto kesetiaannya terhadap kepercayaan dan pengamalan ajarannya menjadi kualifikasi si pertama sebagai “orang jepang yang baik”. Beberapa ajaran tentang kepribadian terkandung dalam ajaran kesusilaan biasanya dilakukan oleh para bangsawan atau para ksatria Jepang, antara lain:
1)      Keberanian merupakan pokok utama yang ditanamkan pada anak dalam masa permulaan hidupnya.
2)      Sifat penakut dikutuk karena sifat ini dipandang dosa.
3)      Loyalitas yakni setia, pertama kesetiaan kepada Kaisar, anggota keluarga Kaisar, masyarakat dan generasi yang akan datang.
4)      Kesucian dan kebersihan adalah suatu hal yang sangat penting sehingga terdapat upacara-upacara penyucian.

3.      Praktik Keagamaan
Agama Shinto tidak memiliki bentuk peribadatan yang sudah ditentukan. Setiap pemeluk agama ini akan mengunjungi tempat suci sesuai kehendaknya, biasanya setiap tanggal 1 atau 15 tiap bulan atau pada saat penyelenggaraan matsuri (pemujaan terhadap Kami). Di dalam penyembahan terhadap Kami biasanya dipimpin oleh pendeta-pendeta yang disebut shinshoku dan memakai pakaian khusus. Dua kali sehari pendeta-pendeta tersebut menyajikan sajian di dalam kuil dengan membaca mantera-mantera dan puji-pujian. Kuil Shinto di Jepang banyak sekali sekitar dua ratus ribu buah dan pendeta-pendeta tersebut dapat turun-temurun[8] namun untuk menjadi seorang pendeta harus melalui pendidikan kependetaan yang diselenggarakan oleh jinja Honcho (persekutuan tempat suci Shinto) atau melalui ujian. Biasanya para pendeta dibedakan dalam lima tingkatan adalah sebagai berikut.
a.       Saishu (tingkatan tertinggi), hanya dimiliki oleh seorang pangeran putra dari kalangan keluarga kaisar
b.      Guji, para pendeta yang memimpin sesuatu jinja serta bertanggung jawab akan pelaksanaan upacara pada jinja-nya.
c.       Gon-guji, kedudukannya dibawah sebagai pembantunya Guji.
d.      Negi, pendeta biasa atau pendeta senior.
e.       Gon-negi, pendeta muda (junior).

Ada pula kelompok pendeta yang disebut shoten dan shoten-ho (wakil pendeta), biasanya hanya bertugas dalam jinja istana kaisar.[9] Apabila pemeluk itu taat maka melakukan pemujaan kepada Dewa setiap hari yakni pada pagi hari membersihkan diri terlebih dulu sebelum menuju altar keluarga, membungkukkan badan, bertepuk tangan dua kali, diam sebentar dengan sikap hormat dan khidmat kemudian melakukan aktivitas keseharian. Pada kesempatan lain bisa juga menghadap kepada matahari, gunung atau tempat suci.[10]

4.      Tempat suci
Pada awalnya pemujaan dilakukan secara langsung, akan tetapi mulailah didirikan bangunan-bangunan tertentu mulai dari yang sederhana sampai permanen. Adapun tempat itu dinamakan jinja yang pada hakikatnya merupakan upacara pensucian dalam rangka menyambut Kami. Upacara di jinja ini terbagi dalam tiga tahapan yakni upacara pensucian pendahuluan (Kessai), kedua upacara pensucian (harai), ketiga upacara persembahan sesaji. Ketiga upacara ini adalah untuk membantu manusia menemukan kembali kesucian diri dan ketulusan hatiyang sebenarnya serta menolong agar dapat hidup dalam kondisi kehidupan memuja Kami dengan kesungguhan.
Dalam setiap jinja setidaknya terdiri dari dua bagian utama, yakni honden (bagian dalam jinja) dan haiden (ruang pemujaan). Adapun jinja yang lengkap terdiri dari norito-den (ruang memanjatkan doa), heiden (ruang sesaji), kagura-den (ruang pertunjukan upacara tari kagura), shamusho (ruang pengurus jinja), te-zu-mi-ya (tempat mencuci tangan) dan torii (pemisah batas antara daerah suci jinja dengan daerah biasa).
Jinja- jinja memiliki tingkat dan diatur dalam sistem rangking yang mana masing-masing tingkatan mendapat bantuan dari pemerintah. Dengan menilai dari segi kekhususan pemujaannya seperti pemujaan nenek moyang kaisar, kaisar adan anggota keluarganya atau dengan latar belakang sejarah tertentu.[11]

5.        Kitab Suci
a.       Kojiki, berisi cerita-cerita dan naluri kuno yang disusun pada tahun 712 M saat kekaisaran Jepang berkedudukan di Nara yang dibangun pada tahun 710 M.
b.      Nihonji, berisi cerita-cerita Jepang yang disusun pada tahun 720 M oleh penulis yang sama dengan dibantu oleh sang pangeran di istana.
c.       Yengishiki, berisi nyanyian-nyanyian dan puji-pujian yang disusun pada abad ke-10 M terdiri atas lima puluh bab. Sepuluh pertama berisikan ulasan-ulasan kisah-kisah purbakala yang bersifat kultus, dilanjutkan dengan peristiwa selanjutnya sampai abad ke-10 M. Inti isinya ialah mencatat dua puluh lima Norito yakni doa/puji-pujian yang panjang untuk upacara keagamaan.
d.      Manyoshio, himpunan sepuluh ribu daun yang disusun pada antara abad ke-5 dan abad ke-8 M serta berisikan bunga rampai terdiri dari 4496 buah sajak.

Kitab Kojiki dan Nihonji menguraikan tentang abad para dewa sampai kepada Amaterasu Omi Kami (Dewa Matahari) dan Tsukiyomi (Dewa Bulan) yang diangkat menguasai langit dan putranya Jimmu Tenno yang diangkat untuk menguasai tanah yang subur (Jepang) lalu disusul dengan silsilah keturunan Kaisar Jepang serta upacara keagamaan dan pemujaan kepada Kaisar beserta para dea-dewinya.[12]

6.      Sendi-sendi Ajaran
a.       Api dianggap suci, sebagai lambang kesucian dewa-dewa yang dipelihara oleh suku Nakomi yakni suku yang mulia dan berkuasa.
b.      Jiwa dianggap suci, orang-orang yang bersalah harus menghukum dirinya sendiri.
c.       Kebersihan diri, tiap orang harus memelihara kebersihan dirinya sebab dewa tidak mau menghampiri orang-orang yang berjiwa kotor. Oleh karena itu, pengikut agama Shinto membenci sesuatu yang bisa mengotori badan dan baju mereka.
d.      Memelihara pergaulan, orang-orang jahat jangan didekati sebab kejahatan itu timbul dari jiwa yang jahat pula dan orang berusaha menjauhkan diri dari pancaran jiwa dan roh jahat tersebut.
e.       Kerusakan jiwa itu karena hantu dan setan, dia memasuki jiwa manusia melalui suara yang jahat oleh karena itu, orang harus berusaha agar jiwanya tidak dirasuki oleh perkataan-perkataan yang keji dan kotor.
f.       Tiap orang harus tulus dan berbudi luhur, apabila ia mati supaya dapat dimasukkan ke dalam golongan Kami atau roh-roh baik.[13]

7.      Perjumpaan dengan Agama Lain
a.       Agama Konfusius (sekitar abad ke-4)
Ajaran agama Konfusius didasarkan pada prinsip-prinsip duniawi seperti halnya yang terdapat dalam agama Shinto. Perjumpaan dengan agama Konfusius ini telah menghasilkan UU 17 pasal yang dipengaruhi oleh agama ini dibuat oleh pangeran Shotoku seorang penganut Buddha akan tetapi yang menjadi dasar utamanya adalah pengajaran agama Buddha serta menjadikan agama ini di Jepang berbeda dari negeri asalnya (Cina dan Korea), diantaranya yakni agama ini berperan penting bukan hanya pada golongan penguasa saat itu yakni Samurai tetapi juga pada masyarakat umum hal ini tidak terjadi pada negeri asalnya yakni Korea dan Cina yang merupakan hanya dianut oleh kalangan atas.

b.      Perjumpaan dengan agama Buddha (538/552 M)
Pada awalnya ada sebuah kerajaan kecil di Korea mengirim utusan ke Jepang. Delegasi tersebut membawa hadiah dan membawa sebuah patung kecil Buddha serta beberapa kitab, juga dalam sebuah surat yang disampaikan kepada pemerintah Jepang bahwa agama Buddha merupakan agama yang menjanjikan kebahagiaan. Orang jepang yang mula-mula memeluk agama Buddha adalah Pangeran Shotoku.
Perkembangan agama ini mencapai puncaknya pada masa dinasti Nara (710-794), dimana dalam kurun waktu tersebut banyak suku-suku terpandang dan para bangsawan yang menganut agama Buddha. Meski begitu besar pengaruhnya, namun agama asli (Shinto) tidaklah hilang. Justru telah membangun dan menanamkan kesadaran tenatang agama asli. Dimana tumbuh keinginan yang kuat untuk mempelajari sifat dan sejarah agama sendiri.

c.       Perjumpaan dengan agama Kristen
Agama Kristen pertama kali diperkenalkan ke Jepang oleh Jesuit St. Franciscus Xaverius yang tiba di Kagoshima pada bulan Agustus 1549. Setelah tinggal di Jepang selama dua tahun ia optimis dapat membuat orang-orang Jepang berpindah agama menjadi Kristen. Selanjutnya, agama Kristen disiarkan secara resmi pada tahun 1589.
Pada zaman Edo (1603-1867), agama Kristen dilarang dengan alasan bahwa sebagai ancaman bagi persatuan bangsa Jepang serta dituduh usaha terselubung pihak asing yang ingin menaklukkan Jepang. Selain itu, pemerintah pada saat itu juga melaksanakan politik sakkoku (isolasi) dan sistem danka yakni setiap keluarga diwajibkan untuk menjadi anggota kelenteng Buddha tertentu. Pelaksanaan sistem danka juga melahirkan perpaduan antara tiga agama yaitu Buddha, Shinto dan Kristen. Bagi para penganut Kristen yang tetap bertahan dengan keyakinannya harus melakukan kegiatan keagamaan secara sembunyi-sembunyi yang dinamakan Kakure Kirishitan.
Pada tahun 1859, pemerintah Jepang mencabut larangan terhadap agama Kristen sehingga misionaris-misionaris asing kembali ke Jepang. Hal ini tidak terlepas dari tekanan politik masyarakat Barat yang menuntut agar kebijakan pelarangan tersebut dihapuskan. Di sisi lain juga, keputusan ini berhubungan erat dengan kepentingan politik Jepang terhadap negara-negara Barat yang ingin belajar tentang kemodernan kepada Barat dalam berbagai bidang. Akhirnya, pada tahun 1889 pemerintah mengeluarkan sebuah UU Meiji yang isinya memberikan kemerdekaan beragama kepada semua warga negara Jepang. Dengan adanya keputusan tersebut akhirnya agama Kristen berkembang dengan di pelopori oleh kaum Samurai yang mengajarkannya lewat gereja yang mandiri yang lepas dari campur tangan pemerintah.

d.      Perjumpaan dengan agama Islam
Beberapa literatur tidak menjelaskan bahwa tidak ada kontak langsung Jepang dengan agama Islam sampai masa Restorasi Meiji (1868-1912), kemudian setelah eras kebebasan agama yang didasarkan pada UU Meiji pasal 28 membuka peluang masyarakat Jepang mengenal agama Islam.
Menurut Abu Bakar Mori-moto dalam bukunya Islam “In Japan: Past, Present and Future” menyatakan bahwa ketertarikan kalangan intelektual Jepang dengan buku terjemahan tentang kehidupan Nabi Saw. Hubungan lainnya adalah ketika pada tahun 1890 kekaisaran Ottoman di Turki mengirim kapal perang dalam misi persahabatan yang kemudian diterima dengan baik selanjutnya, membuka jalan diplomasi antara Turki dengan Jepang serta pada masa PD II yakni terjadinya kontak langsung dengan orang-orang Islam dengan militer Jepang di Cina dan Asia Tenggara yang menghasilkan beberapa pusat penelitian dan organisasi tentang Islam meski tujuannya hanya untuk membekali para militer agar memiliki pengetahuan tentang dunia Islam.
Terutama setelah PD II berakhir dan UU Jepang yang baru  ditetapkan pada tanggal 3 November 1946 sebagaimana yang sudah di jelaskan di bagian sejarah maka kesempatan agama Islam terbuka lebar yang pada akhirnya menghasilkan Al-Qur’an yang diterjemahkan dalam bahasa Jepang (abad ke-20), mendirikan Lembaga Studi Islam (1932 M), berdirinya Perkumpulan Kebudayaan Islam dan Kongres Islam Jepang.

Meski banyak agama yang masuk dan berkembang di Jepang, masyarakat Jepang tetap menganggap bahwa agama asli mereka adalah agama Shinto. Dewasa ini, masyarakat Jepang pada umumnya menganggap dirinya menganut salah satu agama yakni agama Shinto, Buddha dan Kristen. Namun, ada juga yang menganut dan menjalankan ketiga-tiganya.[14]

Daftar Pustaka
Ahmadi, Abu. 1977. Perbandingan Agama. (Salatiga: AB. Sitti Syamsiyah).
Nadroh, Siti dan Syaiful Azmi. 2015. Agama-Agama Minor. (Jakarta: PrenadaMedia Group).
Nasution, Harun. 1973. Falsafat Agama. (Jakarta: Bulan Bintang).



[1] Abu Ahmadi, 1977, Perbandingan Agama, (Salatiga: AB. Sitti Syamsiyah), hal 6-7.
[2] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, 2015, Agama-Agama Minor, (Jakarta: PrenadaMedia Group), hal 58.
[3] Abu Ahmadi, 1977, Op. cit, hal 6-7.
[4] Abu Ahmadi, 1977, Op. cit, hal 7.
[5] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, 2015, Op. cit, hal 63.
[6] Abu Ahmadi, 1977, Op. cit, hal 6.
[7] Harun Nasution, 1973, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang), hal 24-25.
[8] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, 2015, Op. cit, hal 69-72.
[9] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, 2015, Op. cit, hal 88.
[10] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, 2015, Op. cit, hal 72.
[11] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, 2015, Op. cit, hal 86-87.
[12] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, 2015, Op. cit, hal 64-65.
[13] Abu Ahmadi, 1977, Op. cit, hal 9.
[14] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, 2015, Op. cit, hal 106-117.

Comments